Keterlibatan ASN, Pejabat Daerah, dan Diskriminasi Politik dalam Pilgub Papua Barat Daya

JAKARTA, HUMAS MKRI - Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Barat Daya Nomor Urut 01 Abdul Faris Umlati dan Petrus Kasihiw mengajukan pembatalan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua Barat Daya (PBD) Nomor 115 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Barat Daya Tahun 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Gubernur PBD ini dilaksanakan oleh Panel Hakim 1 yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah pada Kamis (16/1/2025).

Dalam permohonan Perkara Nomor 276/PHPU.GUB-XXIII/2025 ini, Heru Widodo selaku kuasa hukum Pemohon menyebutkan penetapan hasil penghitungan suara oleh Termohon, yaitu Paslon Nomor Urut 01 Abdul Faris Ulati–Petrus Kasihiuw (Pemohon) mendapatkan 79.635 suara, Paslon Nomor Urut 02 Gabriel Assem–Lukman Wugaje memperoleh 29.219 suara, Paslon Nomor Urut 03 Elisa Kambu–Ahmad Nausrau (Pihak Terkait) meraih 144.598 suara, Paslon Nomor Urut 04 Yoppie Onesimus Wayangkau–Ibrahim Wugaje mendapatkan 18.748 suara, dan Paslon Nomor Urut 05 Bernad Sagrim–Sirajudin Bauw mendapatkan 36.757 suara, dengan total suara sah 308.957.

“Termohon membiarkan dan memfasilitasi pemilih yang tidak memenuhi syarat untuk mencoblos surat suara atau belum memiliki e-KTP atau biodata kependudukan di TPS-TPS yang tersebar di Kab. Raja Ampat, Kota Sorong dan Distrik Aimas, dan Kabupaten Sorong,” sebut Heru dalam penyampaian pokok permohonan Pemohon dari Ruang Sidang Pleno MK.

 

Diskriminasi Politik

Menurut Pemohon, selisih suara yang terjadi dalam Pilgub PBD disebabkan adanya pelanggaran yang disinyalir dilakukan oleh Paslon Nomor Urut 03, sehingga memenuhi unsur untuk dilakukan pemungutan suara ulang. Pemohon mendalilkan sedari awal pencalonannya sarat upaya penjegalan dan penggagalan.

Majelis Rakyat Papua menyatakan Pemohon dikategorikan bukan sebagai orang asli Papua, sehingga tidak memenuhi syarat untuk maju dalam kontestasi Pilgub PBD. Keputusan ini berakibat pada hambatan hak politik atau diskriminasi politik bagi Pemohon yang sejatinya bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

 

Keterlibatan ASN

Kemudian Pemohon mendalilkan penyalahgunaan kekuasaan dalam memobilisasi SKPD, OPD, Eselon 3, kepala-kepala distrik, kepala-kepala seksi, ASN, maupun penyelenggara pilkada. Hal ini berujung pada rekomendasi bermuatan politis.

Selanjutnya Pemohon mempersoalkan kecurangan pilgub yang diwarnai dengan keterlibatan ASN dan pejabat, seperti Sekretaris Daerah Raja Ampat, yang diduga menjadi alat politik pihak tertentu untuk menghambat Pemohon. Dalam hal ini Pemohon berpendapat, tindakan yang dilakukan pihak-pihak tersebut bertentangan dengan asas demokrasi.

“Berdasarkan seluruh dalil-dalil tersebut, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan batal Keputusan KPU Provinsi Papua Barat Daya Nomor 115 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Barat Daya Tahun 2024 tertanggal 10 Desember 2024 pukul 00.38 WIT sepanjang Penetapan Perolehan Suara Pasangan Calon di seluruh TPS se-Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Tambrauw, dan Kota Sorong; memerintahkan Termohon untuk menyelenggarakan Pemungutan Suara Ulang pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Barat Daya di seluruh TPS se-Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Sorong, dan Kota Sorong dengan terlebih dahulu melakukan pemutakhiran daftar pemilih dengan mencoret nama-nama yang belum rekam e-KTP pada DPT di seluruh TPS se-Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Tambrauw, dan Kota Sorong,” ucap Kariadi selaku kuasa hukum yang membacakan petitum Pemohon.


Baca tautan: Perkara Nomor 276/PHPU.GUB-XXIII/2025


Penulis: Sri Pujianti.

Editor: N. Rosi.

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi