Permohonan Perusahaan Batu Bara Ditolak, Aturan Putusan Arbitrase Internasional Konstitusional



JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang diajukan oleh PT Tanjung Bersinar Cemerlang. Amar Putusan Nomor 131/PUU-XXII/2024 dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam Sidang Pengucapan Putusan yang digelar pada Jumat (3/1/2025). “Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Suhartoyo.

Pertimbangan Mahkamah, dalam konteks ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, lembaga peradilan yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (vide Pasal 65 UU 30/1999. Selanjutnya menurut Pasal 66 UU AAPS, putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia apabila memenuhi lima syarat.

Syarat pertama, putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara dengan negara Indonesia yang terikat pada perjanjian, baik bilateral maupun multilateral. Kedua, putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud pada syarat pertama terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.

Syarat ketiga, putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud syarat pertama dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Keempat, putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua PN Jakarta Pusat.

Terakhir, putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud syarat pertama yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada PN Jakarta Pusat.

"Permohonan pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera PN Jakarta Pusat. Sebagai bentuk penghormatan konvensi internasional yang berlaku, maka penyampaian berkas permohonan pelaksanaan tersebut, antara lain harus disertai dengan keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian," ujar Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah.

Adapun terhadap putusan Ketua PN Jakarta Pusat yang mengakui dan melaksanakan putusan Arbitrase Internasional tidak dapat diajukan banding atau kasasi (vide Pasal 68 ayat (1) UU 30/1999. Sedangkan terhadap putusan Ketua PN Jakarta Pusat yang menolak mengakui dan melaksanakan suatu putusan Arbitrase Internasional, dapat diajukan kasasi.

Guntur melanjutkan, berkenaan dengan dalil Pemohon yang menyatakan seharusnya termohon eksekuatur juga harus diberi hak untuk mengajukan upaya hukum kasasi jika permohonan eksekuatur dari pemohon eksekuatur dikabulkan, hal tersebut justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, hakikat dari adanya permohonan eksekuatur diakibatkan perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak yang dalam hal ini adalah termohon eksekuatur.

“Oleh karena itu, sesungguhnya jika termohon eksekuatur keberatan atas kesepakatan yang telah diputus oleh badan arbitrase internasional dengan alasan yang ditemukan setelah dijatuhkannya putusan arbitrase internasional, maka termohon eksekuatur dapat mengajukan pembatalan atas putusan Arbitrase Internasional dimaksud sebelum ada permohonan eksekuatur,” ujar Guntur.

“Bukan kemudian tidak melaksanakan kesepakatan putusan arbitrase internasional tersebut jika memang tidak menempuh upaya pembatalan tersebut,” sambungnya.

Guntur melanjutkan jika termohon eksekuatur diberi kesempatan untuk mengajukan hukum kasasi jika permohonan eksekuatur dikabulkan, maka hal tersebut berpotensi membuka ruang untuk adanya sengketa baru atau lanjutan. Hal tersebut jelas bertentangan dengan asas suatu perkara harus ada akhirnya (litis finiri oportet).

Selain pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah, terhadap permohonan eksekuatur yang dikabulkan, maka terhadap eksekusi atas putusan Arbitrase Internasional dimaksud akan ditindaklanjuti dengan tata cara eksekusi yang merujuk pada hukum acara perdata yang berlaku pada umumnya.

"Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, dalil Pemohon berkenaan dengan frasa 'tidak dapat diajukan banding atau kasasi' dalam norma Pasal 68 ayat (1) UU 30/1999 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'dapat diajukan kasasi' karena ketentuan tersebut menimbulkan diskriminasi ketika hanya pemohon eksekuatur yang dapat mengajukan kasasi jika permohonan eksekuatur ditolak, menurut Mahkamah adalah tidak beralasan menurut hukum," ujar Guntur.
Baca juga:
Bersengketa Internasional, Perusahaan Ekspor Batu Bara Indonesia Ajukan Uji UU Arbitrase
Bakal Kalah Sengketa Internasional, Perusahaan Ekspor Batu Bara Indonesia Perbaiki Permohonan Uji UU Arbitrase
 

Sebelumnya, PT Tanjung Bersinar Cemerlang selaku Pemohon kemungkinan besar akan kalah dalam sengketa Arbitrase Internasional, sehingga kemungkinan kerugian hak konstitusional bakal segera dialami. Dia mengatakan persidangan arbitrase tersebut berlangsung di Kuala Lumpur, Malaysia pada awal Oktober 2024.

Dalam permohonannya, Pemohon yang diwakili Direktur Utama PT Tanjung Bersinar Cemerlang Eric Kurniadi mengaku perusahaannya akan mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya norma pasal a quo mengenai sengketa Arbitrase Internasional. Saat itu, Pemohon sedang terlibat sengketa dengan sebuah perusahaan dari luar negeri yang sedang diselesaikan melalui arbitrase di Singapore International Arbitration Centre (SIAC).

Dalam sengketa arbitrase di SIAC, Pemohon dapat menang atau kalah. Apabila Pemohon menang, maka Pemohon akan dapat mengajukan pengakuan dan pelaksanaan serta eksekusi atas putusan arbitrase SIAC tersebut di negara tempat kedudukan lawan atau dimana pun perusahaan lawan dari Pemohon memiliki harta kekayaan. Hal ini dimungkinkan karena putusan arbitrase yang dijatuhkan di suatu negara pada prinsipnya dapat diakui dan dilaksanakan di seluruh negara lain yang telah meratifikasi atau mengaksesi Konvensi New York 1958 yang saat ini berjumlah kurang lebih 172 negara termasuk Indonesia.

Demikian pula apabila Pemohon kalah dalam sengketa di SIAC tersebut, maka putusan arbitrase SIAC dimaksud yang merupakan Putusan Arbitrase Internasional bagi Indonesia akan dapat dimohonkan pengakuan dan pelaksanaan serta dieksekusi di Indonesia terhadap Pemohon. Di Indonesia, pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional diatur dalam Pasal 65 sampai Pasal 69 UU 30/1999.(*)

Nama: Nawir Arsyad Akbar
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina

Source: Laman Mahkamah Konstitusi