Pemohon Uji Jangka Waktu Pembayaran Utang Pajak Perbaiki Permohonan

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Pasal 36 ayat (1) huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Perpajakan) serta Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Senin (23/12/2024). Sidang Perkara Nomor 168/PUU-XXII/2024 ini berlangsung di Ruang Sidang MK.

Permohonan diajukan oleh Surianingsih, seorang warga negara Indonesia yang telah membayar pajak, melalui kuasanya, Cuaca. Sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, didampingi oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Ridwan Mansyur.

Dalam persidangan, Pemohon melalui kuasanya Timbul Siahaan menyampaikan sesuai dengan saran-saran masukan Majelis Hakim  pihaknya mengubah uji materiil yakni menguji Pasal 36 ayat (1) b  dan c UU Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) dan Pasal 43 ayat (1), (2), (3) dan (4) UU Pengadilan Pajak. “Sehingga petitum pun sudah diubah yang terdapat dalam halaman 28 dan 29,” ujarnya.

Dalam petitum perbaikan, Pemohon meminta agar MK menyatakan frasa mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai ketetuan kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar dan atas surat ketetapan pajak, wajib pajak wajib melunasi pajak yang harus masih dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui wajib pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat pengurangan atau pembatalan disampaikan dan jangka waktu pelunusan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan pengurangan atau pembatalan tertangguh sampai dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan surat keputusan pengurangan atau pembatalan’.

“Petitum yang ketiga, menyatakan frasa mengurangkan atau membatalkan surat tagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘mengurangkan atau membatalkan surat tagian pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar dan atas surat tagihan pajak, wajib pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui wajib pajak dalam pembahara … pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat pengurangan dan pembatalan disampaikan dan jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan pengurangan atau pembatalan tertangguh sampai dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan surat keputusan pengurangan atau pembatalan’,” tandas Timbul.
Selain itu, sambung Timbul, mengenai kedudukan hukum Pemohon, sebagaimana tertulis di dalam halaman 9 pihaknya telah diperbaiki terkait dengan kualifikasi Pemohon.

“Di alinea 25 dalam halaman 9, telah kami sudah mempertentangkan antara pembatalan dan keberatan yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan perbedaan perlakuan di hadapan hukum mengenai jangka waktu kewajiban pembayaran utang pajak,”ucap Timbul.

Baca juga: Menyoal Diskriminasi Jangka Waktu Pembayaran Utang Pajak

Sebelumnya, Pemohon mengajukan keberatan terhadap ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf b dan huruf c UU 28/2007 dan Pasal 43 ayat (1) UU 14/2002 yang dianggap tidak memberikan kepastian hukum. Dalam dalilnya, Pemohon menyatakan mengalami kerugian konstitusional karena kewajiban pembayaran pajak tetap berlaku meskipun Pemohon sedang menempuh upaya hukum, seperti pengajuan pembatalan atau pengurangan ketetapan pajak. Ketidakpastian ini dianggap bertentangan dengan prinsip kepastian hukum sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan asas negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Pemohon juga membandingkan ketentuan ini dengan Pasal 25 ayat (3a) dan ayat (7) serta Pasal 27 ayat (5) UU 28/2007, yang memberikan hak penundaan pembayaran pajak bagi wajib pajak yang mengajukan keberatan atau banding.
Pemohon merasa adanya diskriminasi hukum. Jalur keberatan dan banding memberikan penundaan pembayaran pajak hingga satu bulan setelah keputusan diterbitkan. Namun, jalur pembatalan dan gugatan tidak memberikan hak yang sama, sehingga wajib pajak harus membayar kewajiban pajaknya meski sedang menempuh upaya hukum.
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf b dan huruf c UU 28/2007 dan Pasal 43 ayat (1) UU 14/2002 mengakibatkan ketidakpastian hukum yang adil. Norma tersebut juga berpotensi menciptakan perbedaan akibat hukum antara jalur keberatan/banding dan pengurangan/pembatalan, yang dinilai tidak sejalan dengan tujuan utama untuk mendapatkan kepastian hukum dan keadilan.(*)

Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina

Source: Laman Mahkamah Konstitusi