Bertambah Pemohon Pengujian Ketentuan Undur Diri Anggota Legislatif Maju Pilkada
JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Sidang Perkara Nomor 91/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Terence Cameron ini dilaksanakan pada Senin (12/8/2024) dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan.
Di hadapan Majelis Sidang Panel yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Pemohon menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonannya. Di antaranya, penambahan dua orang Pemohon sebagai pihak yang dirugikan hak konstitusionalnya atas keberlakuan pasal tersebut, yaitu Raihan Husnul Wafa (Pemohon II) dan Wildan Nurmujaddid Erfan (Pemohon III), sehingga Pemohon dalam perkara ini menjadi tiga orang. Berikutnya, para Pemohon menjelaskan alasan kerugian kostitusionalnya atas berlakunya nora yang diujikan tersebut.
“Para Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya, karena untuk mendapatkan kepala daerah yang demokratis sebab banyak kepala daerah yang berkualitas dan terbaik tidak dapat mendaftarkan diri. Hal ini juga berpotensi pada calon tunggal dan ini tidak adil bagi pemilih yang kehilangan haknya untuk mendapat calon kepala daerah yang kompeten,” sampai Cameron yang hadir di Ruang Sidang Pleno, Gedung I MK.
Baca juga:
Mahasiswa UI Uji Ketentuan Undur Diri Anggota Legislatif Maju Pilkada
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 91/PUU-XXII/2024 dalam perkara pengujian materiil UU Pilkada ini diajukan oleh Terence Cameron, Raihan Husnul Wafa, dan Wildan Nurmujaddid Erfan. Para Pemohon menguji Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada.
Pada Sidang Pendahuluan Senin (29/7/2024) lalu, Pemohon mendalilkan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada berpotensi menyebabkan para calon anggota DPR, DPD, dan DPRD yang terpilih tidak ikut mendaftar sebagai calon kepala daerah, sehingga pemilih kehilangan alternatif pilihan dan berdampak pada tidak terselenggaranya Pilkada Serentak 2024 secara adil dan demokratis. Pendaftaran pasangan calon Pilkada Serentak 2024 dijadwalkan pada 27 Agustus 2024 hingga 29 Agustus 2024, kemudian penetapan pasangan calon dijadwalkan pada 22 September 2024, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024. Sedangkan pelantikan anggota DPR dan DPD hasil pemilu 2024 akan dilaksanakan pada 1 Oktober 2024, serta pelantikan anggota DPRD di beberapa daerah juga akan dilaksanakan setelah tanggal 22 September 2024. Hal ini menurut Pemohon akan membuat ketidakpastian hukum apakah calon anggota DPR, DPD, dan DPRD terpilih yang hendak mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah juga harus melaksanakan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf s, karena pada saat pendaftaran pasangan calon kepala daerah di tanggal 27 Agustus hingga 29 Agustus 2024 serta pada saat penetapan pasangan calon kepala daerah di tanggal 22 September 2024 mereka belum dilantik dan belum berstatus sebagai anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Adanya potensi multitafsir dan ketidakpastian hukum pemaknaan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada dalam pencalonan kepala daerah telah terbukti pada saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan PKPU Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang telah diundangkan pada 1 Juli 2024. KPU menurunkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada ke dalam Pasal 14 ayat (4) huruf d dan Pasal 32 PKPU Pencalonan Pilkada tersebut dan ini berbeda dari norma Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada dan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 12/PUU-XXII/2024.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan bagi yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah di daerah yang tidak meliputi seluruh wilayah daerah pemilihan DPR/DPD/DPRD anggota tersebut; atau jika calon anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD terpilih baru akan dilantik sebagai anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD setelah tanggal penetapan pasangan calon kepala daerah, maka wajib membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik secara resmi menjadi anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD bagi yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah di daerah yang tidak meliputi seluruh wilayah daerah pemilihan DPR/DPD/DPRD anggota tersebut.”
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Fauzan F.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi