Pegiat Pemilu Mempersoalkan Ketentuan Ambang Batas Pencalonan Presiden
JAKARTA, HUMAS MKRI - Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang diwakili Hadar Nafis Gumay (Pemohon I) dan Titi Anggraini (Pemohon II) mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Menurut para Pemohon Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 ini, terdapat inkonsistensi antara tujuan pemberlakuan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dengan fakta empirik di lapangan serta adanya dampak destruktif terhadap sistem presidensial yang bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
“Ambang batas pencalonan presiden nyatanya tidak menyederhanakan pemilihan calon presiden bahkan justru membuat partai politik terpaksa untuk memenuhi syarat sebagaimana ditentukan undang-undang a quo,” ujar kuasa hukum para Pemohon, Nur Fauzi Ramadhan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Rabu (7/8/2024).
Para Pemohon memahami perpaduan sistem presidensial dan multipartai secara teoritik akan menyebabkan imobilitas eksekutif dan legislatif serta deadlock antara keduanya. Hal ini disebabkan karena calon presiden dan partai yang kecil pun dapat memenangkan pemilu presiden, sehingga apabila presiden terpilih mengajukan kebijakan ke parlemen yang dihuni oleh partai besar yang tidak mendukungnya, di sinilah sering terjadi deadlock sebab adanya konflik kepentingan antara dua kubu yang ada.
Para Pemohon mengutip keterangan DPR RI dalam Perkara Nomor 70-72/PUU-XV/2017 yang menyatakan, dengan formulasi ambang batas pencalonan presiden, maka akan menciptakan hubungan yang harmonis antara keduanya sebagai antitesis dari perpaduan presidensialisme dan multipartai. Ambang batas ini akan menciptakan konsolidasi politik sehingga dengan adanya gabungan partai politik pendukung presiden maka akan memperkuat sistem presidensial, akan terjadi koalisi untuk memperkuat pelaksanaan pemerintahan, sehingga akan membangun pemerintahan yang efektif.
Kemudian, lanjut para Pemohon, otoritas presiden untuk menentukan posisi kabinet adalah alat paling efektif dalam mempengaruhi partai politik untuk bergabung dalam koalisi, kemudian diikuti oleh kekuatan legislasi presiden, kuasa anggaran, serta faktor lainnya. Dalam konteks Indonesia, nyatanya kecenderungan coalitional presidentialism tersebut sangat nyata terjadi dari pemilu ke pemilu.
Menurut para Pemohon, berdasarkan fakta-fakta yang terjadi dari pemilu-pemilu sebelumnya menunjukkan apa yang ditakutkan pembentuk undang-undang dan Mahkamah tentang adanya potensi deadlock pada perpaduan presidensialisme dan sistem multipartai nyatanya tidak terjadi di Indonesia. Mereka menegaskan, pandangan terhadap presiden akan kehilangan dukungannya di parlemen jika tidak ada batasan ambang batas adalah hal yang jelas-jelas keliru dalam konteks Indonesia.
Dalam hal ini, Para Pemohon menekankan jika ditilik dari fakta adanya coalitional presidentialism yang sangat lazim terjadi di Indonesia sepatutnya membuktikan potensi dead lock karena terpilihnya presiden minoritas adalah hal yang tidak terjadi di Indonesia. Menurut Para Pemohon, ketentuan ambang batas pencalonan presiden berimplikasi pada timbulnya keinginan partai politik untuk membentuk koalisi tidak secara alamiah. Hal ini jugalah yang mengakibatkan partai-partai politik kecil akan terus mengikuti konstelasi yang ada di partai-partai besar, imbas pengaturan yang mempersempit ruang bagi partai-partai kecil untuk bersaing dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres).
Akibatnya, kata para Pemohon, coattail effect sebagai konsekuensi logis bagi partai politik dalam kerangka pemilu serentak tidak dirasakan oleh partai-partai kecil tersebut. Oleh karena itu, ketentuan ambang batas pencalonan presiden dipandang oleh para Pemohon sebagai ketentuan yang berlebihan bila diterapkan dalam konteks pemilu serentak di Indonesia saat ini, sebab berujung pada lahirnya koalisi-koalisi gemuk dalam kontestasi Pilpres yang akan berimplikasi pula dalam proses tata kelola pemerintahan pasca pemilu.
Selain itu, para Pemohon mengakui pengaturan ambang batas pencalonan presiden merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dan pengaturannya diserahkan kepada pembentuk undang-undang. Akan tetapi, perhatian para Pemohon dalam perkara ini adalah mengenai kebijakan open legal policy dalam penentuan ambang batas pencalonan presiden yang telah nyata bertentangan dengan hak politik khususnya hak politik dari partai-partai politik non parlemen maupun partai-partai politik yang baru mengikuti pemilu berjalan.
Para Pemohon mengajukan simulasi alternatif pilihan. Pertama, bagi partai politik parlemen tidak dikenakan ambang batas pencalonan apapun. Kedua, bagi partai politik non-parlemen dan partai politik baru dikenakan ambang batas pencalonan presiden sekurang-kurangnya 20% dari jumlah partai politik peserta pemilu berjalan.
Dengan demikian, dalam petitumnya para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar Pasal 222 UU Pemilu dimaknai menjadi, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memiliki kursi di DPR dan/atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR yang jumlahnya paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh Partai Politik Peserta Pemilu anggota DPR.” Atau para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik dan/atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR; dan b. Pasangan Calon diusulkan oleh Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR dengan ambang batas yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang.
Nasihat Hakim
Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Yang Mulia masing-masing memberikan penasihatan kepada Para Pemohon. Menurut Suhartoyo, PR besar bagi para Pemohon untuk dapat memberikan argumentasi yang kuat agar Mahkamah bergeser pada pendiriannya dalam putusan-putusan sebelumnya yang menyatakan Pasal 222 UU Pemilu adalah kebijakan hukum terbuka (open legal policy).
“Ini PR besarnya adalah bagaimana menggeser pendirian MK berkaitan dengan open legal policy itu, meskipun sudah disampaikan bagian-bagian pokoknya tapi tetap PR besarnya adalah itu, karena MK selama ini kekeuh berpendirian bahwa berkaitan dengan threshold ini adalah open legal policy,” kata Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo mengatakan para Pemohon dapat memperbaiki permohonannya dalam waktu 14 hari. Para Pemohon dapat menyampaikan perbaikan permohonan kepada Mahkamah paling lambat pada 20 Agustus 2024 pukul 13.00 WIB. Namun, para Pemohon dapat lebih cepat menyampaikan perbaikan permohonan dari waktu yang telah ditentukan.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: N. Rosi
Humas: Tiara Agustina.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi