Pemohon Minta Korupsi Masuk Kategori Perbuatan Tercela dalam UU Pilkada

JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 81/PUU-XXII/2024 perihal Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) pada Selasa (30/7/2024) di Ruang Sidang Panel MK.

Permohonan yang diajukan oleh seorang advokat bernama Ralian Jawalsen ini mempersoalkan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (4), dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada menyatakan, “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:… i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian”.

Dalam persidangan yang digelar secara luring dipimpin Ketua MK Suhartoyo, Ralian Jawalsen (Pemohon) yang hadir tanpa kuasa hukum mengatakan korupsi seharusnya dikategorikan sebagai salah satu perbuatan tercela dan merupakan kejahatan luar biasa yang dalam penanganannya tidak bisa dianggap biasa, dan korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur. “Sehingga para pelaku korupsi, dan narapidana koruptor jika ingin maju dalam pemilihan gubernur, pemilihan wakil gubernur, pemilihan bupati, wakil bupati, pemilihan walikota, dan wakil walikota maka harus dibuktikan dengan catatan kepolisian, dan surat pengadilan,” jelasnya.

Kemudian, Pemohon mengelaborasikan sejumlah pemberitaan mengenai kasus korupsi yang dilakukan oleh sejumlah kepala daerah untuk menyatakan bahwa korupsi bukan hanya merugikan keuangan negara, melainkan juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.

Oleh karena itu, Pemohon dalam petitumnya meminta MK agar mantan narapidana korupsi, dan/atau gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota jika pernah menjadi narapidana korupsi ditolak untuk ikut kontestasi dalam pemilihan wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota. Pemohon juga meminta MK memasukkan korupsi adalah perbuatan tercela seperti halnya penyalahgunaan dan/atau pengedar narkoba yang dicantumkan dalam penjelasan pasal tersebut.

 

Nasihat Hakim

Menanggapi permohonan Pemohon Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyarankan untuk mempertajam legal standing. “Sebab undang-undang yang saudara uji tidak cukup saudara katakan bahwa saudara advokat penegak hukum yang pengen hukum di negeri ini tegak itu tidak salah, tetapi yang kita selalu tunggu itu korelasinya posisi saudara dengan norma yang diuji itu,” terang Guntur.

Sementara Ketua MK Suhartoyo meminta Pemohon untuk melihat putusan MK yang telah dikabulkan di laman MK. Selain itu, Suhartoyo menyarankan agar Pemohon mengkonstruksikan kembali apakah tetap akan melanjutkan pengujian atau tidak.

Sebelum menutup persidangan Suhartoyo juga mengatakan Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun perbaikan diterima oleh MK paling lambat pada Selasa 13 Agustus 2024 pukul 13.00 WIB.

 

Penulis: utami Argawati.

Editor: Nur R.

Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.

Source: Laman Mahkamah Konstitusi