Mahasiswa UI Uji Ketentuan Undur Diri Anggota Legislatif Maju Pilkada

JAKARTA, HUMAS MKRI – Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) kembali diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini, diajukan seorang mahasiswa, Terence Cameron.

Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan Terence Cameron (Pemohon) dengan  Nomor 91/PUU-XXII/2024. Sidang perdana perkara ini digelar pada Senin (29/7/2024) di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK, dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.

Adapun materi yang diujikan Pemohon yaitu Pasal 7 ayat (2) huruf s yang menyatakan, “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: …… s. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan”. Pasal tersebut menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.

Pemohon yang merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia  menyatakan pasal yang diuji tersebut menjadi salah satu landasan pelaksanaan Pilkada Serentak 2024. Menurut Pemohon, pasal tersebut berpotensi menyebabkan para calon anggota DPR, DPD, dan DPRD yang terpilih tidak ikut mendaftar sebagai calon kepala daerah, sehingga pemilih kehilangan alternatif pilihan dan berdampak pada tidak terselenggaranya Pilkada Serentak 2024 secara adil dan demokratis.

Pendaftaran pasangan calon Pilkada Serentak 2024 dijadwalkan pada 27 Agustus 2024 hingga 29 Agustus 2024, kemudian penetapan pasangan calon dijadwalkan pada 22 September 2024, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024. Sedangkan pelantikan anggota DPR dan DPD hasil pemilu 2024 akan dilaksanakan pada 1 Oktober 2024, serta pelantikan anggota DPRD di beberapa daerah juga akan dilaksanakan setelah tanggal 22 September 2024. Hal ini menurut Pemohon akan membuat ketidakpastian hukum apakah calon anggota DPR, DPD, dan DPRD terpilih yang hendak mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah juga harus melaksanakan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf s, karena pada saat pendaftaran pasangan calon kepala daerah di tanggal 27 Agustus hingga 29 Agustus 2024 serta pada saat penetapan pasangan calon kepala daerah di tanggal 22 September 2024 mereka belum dilantik dan belum berstatus sebagai anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Adanya potensi multitafsir dan ketidakpastian hukum pemaknaan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada dalam pencalonan kepala daerah telah terbukti pada saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan PKPU Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang telah diundangkan pada 1 Juli 2024. KPU menurunkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada ke dalam Pasal 14 ayat (4) huruf d dan Pasal 32 PKPU Pencalonan Pilkada tersebut dan ini berbeda dari norma Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada dan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 12/PUU-XXII/2024.

“KPU telah mensyaratkan calon anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD terpilih namun belum dilantik untuk menyerahkan surat pengunduran diri sebagai calon terpilih anggota DPR, DPD dan DPRD yang tidak dapat ditarik kembali pada saat pendaftaran Pasangan Calon, yang tentu saja ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada dan tidak mengikuti pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 12/PUU-XXII/2024 yang menegaskan agar KPU mempersyaratkan bagi calon anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD terpilih yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik secara resmi menjadi anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD apabila tetap mencalonkan diri sebagai kepala daerah,” sampai Terence.

Adanya ketidakpastian hukum dalam pencalonan kepala daerah ini, lebih lanjut menurut Pemohon dapat membuat para calon anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD terpilih tidak jadi mencalonkan diri sebagai kepala daerah pada Pilkada Serentak 2024. Kemudian ini menyebabkan Pemohon kehilangan haknya untuk mendapatkan pilihan calon pemimpin yang berkualitas. Oleh karenanya penting bagi Mahkamah untuk menjadikan permohonan ini sebagai prioritas pemeriksaan dan memutus perkara ini sebelum dimulainya waktu pendaftaran pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota dalam Pilkada Serentak 2024 pada 27 Agustus 2024 agar dapat tercipta kepastian hukum dalam pemaknaan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada dan Pilkada Serentak 2024 terselenggara dengan adil dan demokratis.

Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan bagi yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah di daerah yang tidak meliputi seluruh wilayah daerah pemilihan DPR/DPD/DPRD anggota tersebut; atau jika calon anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD terpilih baru akan dilantik sebagai anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD setelah tanggal penetapan pasangan calon kepala daerah, maka wajib membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik secara resmi menjadi anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD bagi yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah di daerah yang tidak meliputi seluruh wilayah daerah pemilihan DPR/DPD/DPRD anggota tersebut.”

 

Kerugian Konstitusional

Dalam nasihat Majelis Sidang Panel, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan ketidakpastian yang didalilkan ini sebaiknya dikaitkan dengan kerugian konstitusional Pemohon. Sehingga Pemohon harus diuraikan dengan jelas lagi dan bukan bagi para calon kepala daerah.

Kemudian Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyebutkan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 tidak relevan sebagai dasar pengujian. Sebab pasal tersebut tidak terkait dengan pengunduran diri, pelantikan, dan hal-hal yang terkait dengan pemilihan kepala daerah nantinya.

“Oleh karena itu sebaiknya Pemohon fokus pada dasar pengujian berupa Pasal 22E ayat (1); dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945,” sebut Guntur.

Berikutnya Ketua MK Suhartoyo dalam nasihatnya menyatakan agar Pemohon dapat mengelaborasi dari teori atau doktrin asas agar dapat mengubah pendirian Mahkamah atas putusan sebelumnya. Sebab pada putusan itu Mahkamah menekankan normanya melekat bagi anggota dewan bukan bagi calon anggota dewan.

Pada akhir persidangan ini, Ketua MK Suhartoyo mengatakan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Kemudian naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Senin, 12 Agustus 2024 pukul 08.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Untuk selanjutnya akan dijadwalkan pada sidang kedua dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan.

 

Penulis: Sri Pujianti.

Editor: Nur R.

Humas: Fauzan F.

Source: Laman Mahkamah Konstitusi