Permohonan Uji UU Perbendaharaan Negara Dicabut
JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan dari uji materiil Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (3/7/2024). Namun M. Robin Salam, warga Ujung Pandang, Makassar, berusia 64 tahun diwakili oleh Mohammad Erzad Kasshiraghi dalam sidang dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan menyatakan mencabut permohonan.
Terhadap Perkara Nomor 38/PUU-XXII/2024 ini, Erzad menyampaikan Pemohon telah mengajukan permohonan pencabutan perkara tertanggal 30 Maret 2024 lalu. Dengan alasan masih perlu mendalami pasal yang diujikan pada persidangan ini.
“Di samping itu, penarikan dilakukan setelah mempertimbangkan nasihat dari para hakim saat sidang panel lalu bahwa pasal ini berkelindan pasal lainnya. Terhadap hal ini kami mempertimbangkan dan mengajukan permohonan pencabutan perkara,” ujar Erzad melalui sambungan videocall kepada Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Hakim Konstitusi Anwar Usman, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Setelah mendapatkan konfirmasi dari kuasa Pemohon, Majelis Sidang Panel akan menyampaikan kepada rapat permusyawaratan hakim (RPH) perihal penarikan permohonan ini. Untuk selanjutnya, Pemohon dapat menunggu konfirmasi dari Kepaniteraan MK.
Baca juga: Tanah Warisan Diakui Milik TNI AD, Definisi Barang Milik Negara Diuji
Pada Sidang Pendahuluan lalu, Senin (18/3/2024) Pemohon menyebutkan bahwa norma yang diujikan tersebut menciptakan ketidakpastian hukum dan melahirkan penafsiran yang mengekang pemenuhan hak-hak konstitusional Pemohon, secara khusus hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum atas tanah milik Pemohon. Sejatinya, Pemohon adalah ahli waris dari ayahnya, Haji Abdul Kadir Salam yang wafat pada 21 Juli 1992. Ayah Pemohon meninggalkan sebidang tanah yang dibuktikan dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 10/1998, Surat Ukur No. 4 Tahun 1956 yang merupakan sertifikat pengganti karena hilang dari SHM No. 1070/1956, Surat Ukur No. 4 Tahun 1956, tercatat atas nama Haji Abdul Kadir Salam.
Singkatnya, tanah tersebut dahulunya pernah dikuasai oleh negara melalui TNI AD pada 1968. Menurut pihak TNI AD, penguasaan fisik tanah saat itu dilakukan dengan dasar TNI AD telah melakukan jual beli di bawah tangan dengan seseorang yang bernama Abdul Fattah yang mengaku sebagai pemilik tanah. Setelah melewati proses yang panjang akhirnya pada 30 Januari 2003, pihak TNI AD c.q. Kodam VII Wirabuana mengembalikan tanah tersebut secara sukarela kepada Pemohon. Namun, pada 6 September 2021, pihak TNI AD c.q. Kodam XIV/Hasanuddin (dahulu bernama Kodam VII/Wirabuana) datang ke area tanah tersebut untuk menguasai fisik tanah dengan memasang spanduk yang menyatakan tanah milik TNI AD c.q. Kodam XIV/HASANUDDIN.
Atas permasalahan tersebut sebenarnya Pemohon dapat melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan sengketa tanah melawan Negara c.q. TNI AD di Pengadilan Umum. Namun menurut Pemohon, akar permasalahan karena adanya multitafsir dalam mendefinisikan barang milik negara. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengaturan tentang barang milik negara/daerah baik di tingkat undang-undang, peraturan pemerintah, maupun di tingkat peraturan menteri seluruhnya menetapkan definisi barang milik negara sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 10 UU Perbendaharaan Negara tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai, “Dalam hal barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN adalah berupa tanah maka status sebagai barang milik negara baru berlaku setelah tanah tersebut bersertifikat atas nama pemerintah Republik Indonesia”.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha
Source: Laman Mahkamah Konstitusi