Menguji Ketentuan Syarat Dukungan Bagi Calon Kepala Daerah Perseorangan dalam Kontestasi Pilkada
![](https://mkri.id/public/content/berita/original/berita_1719913358_4aeca6ff0145df8e11cf.jpg)
JAKARTA, HUMAS MKRI – Ahmad Farisi (Peneliti dan Pengamat), A Fahrur Rozi (Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan Abdul Hakim (Advokat) yang aktif dalam organisasi masyarakat dan komunitas sosial di tingkat daerah menguji Pasal 41 ayat (1) huruf a, b, c, d, e dan Pasal 41 ayat (2) huruf a, b, c, d, e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UndangUndang (UU Pilkada) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Abdul Hakim sebagai Pemohon Prinsipal disebutkan bahwa keberadaan para Pemohon sangat mungkin menjadi alternatif untuk mengajukan calon perseorangan dalam kontestasi Pilkada. Sehingga pada Sidang Pendahuluan Perkara Nomor 43/PUU-XXII/2024 ini, Pemohon sangat ingin diberikan kesempatan untuk dapat mengajukan calon perseorangan di luar pada jalur partai politik sebagaimana dijaminan hak konstitusionalnya dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
“Dengan diberlakukannya norma ini menjadi sulit bagi Pemohon untuk mendapatkan calon alternatif karena seluruh calon yang maju pada kontestasi pilkada ini didominasi oleh calon yang diusulkan oleh partai politik. Hal ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 karena jelas melanggar moralitas dan hak konstitusional untuk mendapat kedudukan yang sama, kepastian hukum, dan kemudahan dalam mengakses hak yang diatur dalam undang-undang. Di samping itu, berlakunya angka persentase besaran syarat dukungan awal pencalonan calon perseorangan sangat tidak rasional dalam memberikan rasa keadilan dan persamaan di depan hukum,” jelas Abdul Hakim di hadapan Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya. Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 41 ayat (1) huruf a, b, c, d, e UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur jika memenuhi syarat dukungan dari organisasi masyarakat atau perkumpulan masyarakat yang tercatat dan terverifikasi oleh Gubernur/Bupati/Walikota setempat minimal 5 yang masing-masing tersebar di 5 kabupaten/kota”.
Kerugian Konstitusional
Hakim Konstitusi Guntur dalam nasihat hakim menyebutkan perlu bagi para Pemohon mempertegas dan memperjelas kedudukan hukum pihaknya dalam hal upaya pengajuan diri sebagai kepala daerah baik melalui jalur independen maupun jalur partai politik. “Bagaimana mau membahas substansinya jika pintu masuk dari kerugian konstitusional yang didalilkan hanya pada ranah pemikiran saja, setidaknya kerugian yang dimaksudkan adalah potensial terjadi sehingga terlihat posisi Pemohon dengan keberlakuan norma yang diujikan,” saran Guntur dalam Sidang Pendahuluan yang digelar pada Selasa (2/7/2024).
Sementara Hakim Konstitusi Ridwan memberikan catatan mengenai keberadaan ormas yang dinilai Pemohon dirugikan dalam kontes pencalonan kepala daerah dalam pagelaran pilkada.
“Apakah ormas itu pemilih juga dalam pilkada? Ini perlu ditekankan kembali bagaimana kedudukan hukum dari dalil para Pemohon ini, indikatornya apa dan yakinkan Mahkamah pada pendiriannya atas perkara ini,” jelas Ridwan.
Kemudian Hakim Konstitusi Daniel mengingatkan agar para Pemohon untuk meyajikan perbandingan dengan negara lain terkait dengan pemberian ruang bagi ormas atau perkumpulan serta komunitas sosial untuk dapat mengajuakn pasangan calon kepala daerah. “Dalam UUD 1945 jika dicermati sudah jelas dipisahkan untuk menjadi anggota DPR harus melalui parpol, dan unutk kepala daerah awalnya hanya jalur parpol dan kemudian ada jalur independent. Sekarang para Pemohon ingin mengajukan jalur lain, maka coba uraikan dalil-dalil ini secara lebih meyakinkan Mahkamah,” sebut Daniel.
Di akhir persidangan, Panel Hakim memberikan waktu selama 14 hari kerja bagi Pemohon untuk memperbaiki permohonan. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha
Source: Laman Mahkamah Konstitusi