Menguji Syarat Perolehan Surat Tanda Registrasi Tenaga Kesehatan
JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Pasal 212 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) pada Selasa (2/7/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang tersebut dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.
Agenda persidangan adalah pemeriksaan pendahuluan untuk gabungan dua perkara, yaitu Perkara Nomor 49/PUU-XXII/2024 dan Perkara Nomor 50/PUU-XXII/2024. Permohonan Perkara Nomor 49/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Shafa Syahrani, Satria Prima Arsawinata, dan Bunga Nanda Puspita. Sedangkan permohonan Perkara Nomor 50/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Iwan Hari Rusawan.
Kurnia Nurfitrah selaku kuasa Pemohon Perkara Nomor 49/PUU-XXII/2024 menyampaikan, para Pemohon mengalami kerugian karena perubahan Pasal 212 ayat (2) UU Kesehatan menghalangi para mahasiswa program sarjana tenaga kesehatan untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) secara langsung setelah lulus dari program sarjana. Padahal, selama masa pendidikan program sarjana, Mahasiswa telah memilih konsentrasi di dalam program studinya yang sesuai minat dan keahliannya dengan tujuan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dan pantas untuk dirinya.
“Seharusnya perolehan STR tidak berkaitan langsung dengan pendidikan profesi. Artinya untuk memperoleh STR, lulusan sarjana tenaga kesehatan tidak diwajibkan untuk menyelesaikan pendidikan profesi terlebih dahulu. Dengan berbekal ijazah sarjana, lulusan sarjana tenaga kesehatan telah dapat mengikuti UKOM dan memperoleh STR. Namun pada kenyataannya, KTKI dalam hal ini Kementerian Kesehatan Republik Indonesia seakan-akan menafsirkan bahwa untuk memperoleh STR, lulusan sarjana tenaga kesehatan wajib terlebih dahulu untuk menyelesaikan pendidikan profesi. Hal itu terlihat dari laman pengajuan STR di website KTKI yang sudah tidak mencantumkan pengajuan untuk sarjana tenaga kesehatan,” sebutnya.
Menurut Para Pemohon, perubahan undang-undang tersebut mencederai segala bentuk tujuan kehidupan yang telah dipersiapkan oleh Para Mahasiswa program sarjana tenaga kesehatan karena harus menempuh jalur pendidikan profesi kambali. Pemahaman KTKI tersebut berimbas besar pada orang-orang yang telah melaksanakan UKOM dan telah dinyatakan lulus serta sedang menunggu penerbitan STR. Karena Pemahaman KTKI bahwa untuk memperoleh STR wajib menyelesaikan pendidikan profesi, maka mereka yang telah lulus UKOM tersebut tiba-tiba tidak diterbitkan STR-nya. Padahal bila konsisten pada penjabaran Pasal 260 UU 17/2023, seharusnya STR tetap diterbitkan.
Terlepas daripada hal tersebut, esensi dari Permohonan ini pada dasarnya adalah mempermasalahkan kewajiban menyelesaikan pendidikan profesi bagi mahasiswa lulusan sarjana tenaga kesehatan untuk berpraktik sebagai tenaga kesehatan. Secara spesifik, Para Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 212 ayat (2) UU 17/2023 tersebut secara tiba-tiba tanpa ketentuan peralihan yang seharusnya membuka ruang bagi mahasiswa yang terdaftar sebagai mahasiswa pendidikan tenaga kesehatan sebelum berlakunya pasal tersebut untuk tetap dapat berpraktik tanpa kewajiban menyelesaikan pendidikan profesi dan mendapatkan sertifikat profesi.
Oleh karena itu, Para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk mengecualikan ketentuan Pasal 212 ayat (2) UU 17/2023 bagi mahasiswa yang terdaftar sebagai mahasiswa program sarjana tenaga kesehatan sebelum berlakunya Pasal a quo (08 Agustus 2023). Kekhususan bagi mahasiswa yang terdaftar sebelum berlakunya pasal tersebut karena merasakan dampak secara tiba-tiba dan tidak ada persiapan. Sedangkan, bagi mahasiswa program sarjana Tenaga Kesehatan yang terdaftar setelah berlakunya UU 17/2023 seharusnya telah mengetahui atau dianggap mengetahui (fictie hukum) konsekuensi pilihan dan alur untuk mendapatkan STR serta melakukan praktik profesi.
Pengakuan Kompetensi Ahli Khitan
Pada kesempatan yang sama, Pemohon Perkara Nomor 50/PUU-XXII/2024, Iwan Hari Rusawan di hadapan Majelis Hakim mendalilkan Pasal Pasal 212 ayat (2) UU Kesehatan hanya mengakomodir pendidikan profesi dan pendidikan tinggi yang sama-sama hanya diajarkan di perguruan tinggi, tanpa memberikan opsi atau alternatif khusus bagi lulusan format pendidikan tradisional yang juga mengabdikan diri serta mempunyai pengetahuan dan keterampilan invasif terkait kesehatan dalam hal ini Pemohon sebagai berprofesi sebagai pengkhitan.
Pemohon juga mendalilkan setiap tenaga kesehatan atau medis harus memiliki sikap profesional, pengetahuan, dan keterampilan, tetapi tidak semua tenaga medis/tenaga kesehatan harus lulusan perguruan tinggi. Bahkan berbagai badan internasional dalam klasifikasi okupasi mengakui tenaga kesehatan yang bukan lulusan perguruan tinggi.
Oleh karena tidak diperlakukan seperti halnya lulusan format pendidikan asing (perguruan tinggi) serta tidak pula diberikan opsi atau alternatif khusus, maka Pemohon tidak memiliki kesempatan untuk membuktikan dan mencatatkan kemampuan dalam uji kompetensi tenaga kesehatan/medis. Pemohon tidak memiliki kesempatan untuk membuktikan dan mencatatkan kemampuan dalam uji kompetensi, sehingga tidak dapat mengajukan STR untuk diakui sebagai tenaga kesehatan/medis dan dilindungi seperti tenaga kesehatan/medis lainnya.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan para Pemohon Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan secara umum permohonan Para Pemohon telah sesuai dengan PMK 2 Tahun 2021. “Jadi, dari perihalnya sudah terlihat yang saudara mohonkan ini pengujian konstitusionalitas norma Pasal 212 ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2023 yang kebetulan UU dengan metode omnibus law. Yang perlu saudara tambahkan pada saat saudara menguraikan legal standingnya di situ, Saudara tambahkan pada uraian positanya di uraian yang mana di dalam UU yang lama yang memberikan dasar bagi para prinsipal untuk kemudian mengambil pilihan bisa kemudian mengajukan UKOM untuk STR. Itu diperjelas, perbedaan dari UU lama kemudian dengan UU yang baru UU 17 Tahun 2023 itu,” ujar Enny menasihati.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: N. Rosi.
Humas: Tiara Agustina.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi