Pejabat TUN Tak Dapat Ajukan PK

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN)  sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. MK memaknai norma a quo dengan mengecualikan badan atau pejabat tata usaha negara (TUN) sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA) terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 24/PUU-XXII/2024 dalam sidang yang digelar pada Rabu (20/3/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

Dengan demikian, MK memaknai Pasal 132 ayat (1) UU PTUN menjadi “Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.”

Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dalam pertimbangan hukum putusan ini menjelaskan, apabila dibuka kekuasaan untuk mengajukan PK lebih dari satu kali untuk perkara selain pidana, maka akan mengakibatkan penyelesaian perkara menjadi lama dan tidak akan pernah selesai yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum. Keadaan demikian bertentangan dengan asas litis finiri oportet, bahwa setiap perkara harus ada akhirnya.

Menurut Mahkamah, tujuan pembentukan PTUN tidak hanya untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi juga sekaligus untuk melindungi hak-hak masyarakat serta dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dalam kaitan tersebut, Guntur mengatakan, badan atau pejabat TUN sebagai organ pemerintah yang mengeluarkan keputusan TUN berdasarkan wewenang yang ada padanya atau dilimpahkan kepadanya memiliki kewajiban membuat keputusan dan/atau tindakan TUN dengan mendasarkan pada peraturan perundangan-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).

“Ihwal ini sebagai antisipasi agar badan atau pejabat TUN tidak melakukan perbuatan yang terlarang atau penyimpangan seperti perbuatan melanggar hukum, penyalahgunaan kekuasaan, dan kesewenang-wenangan,” kata Guntur.

Jika terjadi sengketa TUN, badan atau pejabat TUN diposisikan sebagai tergugat namun memiliki derajat/kedudukan yang lebih tinggi dibanding penggugat dikarenakan kedudukannya sebagai organ pemerintah. Begitu pula dalam hal pembuktian yang menjadi beban penggugat serta dalam hal pelaksanaan putusan yang secara normatif putusan PTUN dilaksanakan badan atau pejabat TUN yang menerbitkan keputusan atau tindakan TUN dengan diawasi Ketua PTUN.

Guntur menuturkan, pada umumnya putusan TUN dilaksanakan secara sukarela oleh badan atau pejabat Tun sesuai amar putusan PTUN, mengingat badan atau pejabat TUN adalah organ negara yang seharusnya patuh hukum, termasuk mematuhi dan melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga proses hukum terhadap keputusan atau tindakan badan atau pejabat TUN yang menjadi objek sengketa antara warga masyarakat dan badan atau pejabat TUN yang kalah seharusnya menjadi berakhir atau selesai setelah diputus pada tingkat kasasi.

“Badan atau pejabat TUN dimaksud memiliki kewajiban hukum (wettelijeke verplictingen untuk segera menindaklanjuti atau mengeksekusi langsung putusan PTUN yang telah inkracht,” tutur Guntur.

Apabila badan atau pejabat TUN yang kalah masih diberikan kesempatan untuk mengajukan PK sebagaimana diatur Pasal 132 ayat (1) UU 5/1986, maka hal itu menunjukkan badan atau pejabat TUN yang kalah tersebut telah keluar dari khittah eksistensi PTUN sebagai instrumen perlindungan hukum bagi warga. Kondisi demikian bersifat kontraproduktif dan sesungguhnya tidak lagi sejalan dengan tujuan awal pembentukan PTUN, yakni memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap perbuatan pejabat pemerintah yang merugikan warga baik karena pejabat tersebut melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, maupun bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai badan atau pejabat TUN.

 

Ikhtilaf

Sembilan hakim konstitusi tidak bulat dalam pengambilan putusan perkara pengujian materiil UU PTUN ini. Dua hakim konstitusi yakni Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Pada intinya, kata Suhartoyo, Mahkamah seharusnya menolak permohonan tersebut.

“Pada pokoknya kedua hakim konstitusi dimaksud tidak sependapat bahwa Mahkamah mengabulkan permohonan ini, seharusnya Mahkamah menolak permohonan a quo,” ucap Suhartoyo.

Dalam pendapat berbeda itu, terdapat beberapa hal yang seharusnya perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut oleh Mahkamah. Misalnya, perihal alasan mendasar diberikan-tidaknya hak kepada badan atau pejabat TUN untuk mengajukan PK, statistik perkara PK dalam perkara TUN, pihak mana yang lebih banyak menggunakan hak untuk mengajukan PK, dan efektivitas penggunaan mekanisme upaya hukum luar biasa berupa PK. Atas sikap enggan untuk menggelar sidang pleno terbuka untuk umum, Mahkamah telah menutup kesempatan untuk mendapatkan informasi dan keterangan sebanyak-banyaknya dalam memutus permohonan ini. Terlebih lagi, membatasi hak badan atau pejabat TUN untuk mengajukan PK telah mengubah sistem peradilan TUN secara fundamental.


Baca juga:

Ibu Rumah Tangga Uji Norma PK dalam UU PTUN

IRT Perbaiki Permohonan Uji Norma PK dalam UU PTUN


Sebagai informasi, Pemohon perkara ini ialah seorang ibu rumah tangga (IRT) bernama Rahmawati Salam. Pemohon merupakan Penggugat dalam perkara sengketa tata usaha negara di PTUN Jakarta melawan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Gugatan Pemohon telah diputus kabul seluruhnya oleh PTUN Jakarta sehingga telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Namun, Menteri ATR/BPN akan melakukan upaya hukum PK atas putusan tersebut. Menurut Pemohon, perkaranya yang melawan Menteri ATR/BPN itu telah selesai sampai di tingkat kasasi dan dapat dilakukan eksekusi karena telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun Menteri ATR/BPN menunda pelaksanaan eksekusi dengan alasan akan melakukan upaya hukum PK.

Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memperoleh kekuatan hukum tetap, sepanjang tidak dimaknai “Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, hanya seseorang atau badan hukum perdata yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”

 

Penulis: Mimi Kartika.

Editor: Nur R.

Humas: Fauzan.

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi