Tanah Warisan Diakui Milik TNI AD, Definisi Barang Milik Negara Diuji
JAKARTA, HUMAS MKRI – M. Robin Salam, warga Ujung Pandang, Makassar, berusia 64 tahun mengajukan permohonan uji materiil Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara tentang definisi barang milik negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan ini berangkat dari kasus konkret mengenai tanah warisan yang diakui Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD).
“TNI AD c.q. Kodam XIV/Hasanuddin berdalih tanah a quo adalah barang milik negara dan telah terdaftar sebagai barang milik negara dalam SIMAK BMN,” ujar kuasa hukum Pemohon, Mohammad Erzad Kasshiraghi dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 38/PUU-XXII/2024 tersebut pada Senin (18/3/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta.
Pasal 1 angka 10 UU Perbendaharaan Negara menyebutkan, “Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.” Menurut Pemohon, norma tersebut menciptakan ketidakpastian hukum dan melahirkan penafsiran yang mengekang pemenuhan hak-hak konstitusional Pemohon, secara khusus hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum atas tanah milik Pemohon.
Pemohon adalah ahli waris dari ayahnya, Haji Abdul Kadir Salam yang wafat pada 21 Juli 1992. Ayah Pemohon meninggalkan sebidang tanah yang dibuktikan dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 10/1998, Surat Ukur No. 4 Tahun 1956 yang merupakan sertifikat pengganti karena hilang dari SHM No. 1070/1956, Surat Ukur No. 4 Tahun 1956, tercatat atas nama Haji Abdul Kadir Salam. Singkatnya, tanah tersebut dahulunya pernah dikuasai oleh negara melalui TNI AD pada 1968. Menurut pihak TNI AD, penguasaan fisik tanah saat itu dilakukan dengan dasar TNI AD telah melakukan jual beli di bawah tangan dengan seseorang yang bernama Abdul Fattah yang mengaku sebagai pemilik tanah. Setelah melewati proses yang panjang akhirnya pada 30 Januari 2003, pihak TNI AD c.q. Kodam VII Wirabuana mengembalikan tanah tersebut secara sukarela kepada Pemohon. Namun, pada 6 September 2021, pihak TNI AD c.q. Kodam XIV/Hasanuddin (dahulu bernama Kodam VII/Wirabuana) datang ke area tanah tersebut untuk menguasai fisik tanah dengan memasang spanduk yang menyatakan tanah milik TNI AD c.q. Kodam XIV/HASANUDDIN.
Atas permasalahan tersebut sebenarnya Pemohon dapat melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan sengketa tanah melawan Negara c.q. TNI AD di Pengadilan Umum. Namun menurut Pemohon, akar permasalahan karena adanya multitafsir dalam mendefinisikan barang milik negara. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengaturan tentang barang milik negara/daerah baik di tingkat undang-undang, peraturan pemerintah, maupun di tingkat peraturan menteri seluruhnya menetapkan definisi barang milik negara sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan.
“Definisi barang milik negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 10 UU a quo mengandung multitafsir yang menimbulkan ketidakpastian hukum karena dengan definisi demikian menyebabkan tanah milik ayah Pemohon termasuk sebagai barang milik negara karena terhadap tanah a quo dahulunya negara melalui TNI AD pernah mengeluarkan sejumlah uang yang berasal dari APBN guna membelinya, sekalipun ayah Pemohon sebagai pemilik sah atas tanah a quo tidak pernah melakukan jual beli dengan pihak manapun termasuk kepada negara c.q. TNI AD,” kata Erzad.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 10 UU Perbendaharaan Negara tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai, “Dalam hal barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN adalah berupa tanah maka status sebagai barang milik negara baru berlaku setelah tanah tersebut bersertifikat atas nama pemerintah Republik Indonesia”.
Nasihat Hakim
Sidang ini dipimpin Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Anwar Usman. Guntur mengatakan, keinginan untuk memberikan pemaknaan norma a quo, Pemohon harus memberikan argumentasi yang kuat supaya bisa dipahami logika hukumnya. Pemohon juga diminta memperbaiki petitum dengan mempelajari putusan-putusan MK terdahulu yang memutus permohonan kontitusional bersyarat.
“Perlu Anda tengok lagi beberapa putusan Mahkamah yang isinya permohonannya itu adalah konstitusional bersyarat dan dikabulkan oleh Mahkamah,” kata Guntur. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha
Source: Laman Mahkamah Konstitusi