Kerugian Konstitusional Seorang Wajib Pajak Akibat Aturan Sanksi Pidana

JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang terhadap permohonan Puguh Suseno yang mengujikan ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf d dan huruf i Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) pada Rabu (13/3/2024). Sidang kedua atas Perkara Nomor 30/PUU-XXII/2024 yang beragendakan mendengarkan poin perbaikan permohonan Pemohon dilaksanakan di Ruang Sidang Panel MK.

Syarif Anwar Said Al-Hamiddan Daffa Kadri Kusworo selaku kuasa Pemohon menyebutkan beberapa hal yang telah disempurnakan dalam permohonan. Yakni, kerugian konstitusional berupa penetapan sebagai tersangka tindak pidana perpajakan karena lalai dalam melaporkan SPT. Seharusnya merujuk pada pemidanaan bukan sebagai pembalasan. Pemidanaan seharusnya bersifat ultimum remedium setelah penjatuhan sanksi lainnya telah dilakukan terlebih dahulu.

Berikutnya Pemohon juga menambahkan alasan permohonan berupa ketiadaan pengaturan secara tegas tentang unsur pemidanaan, sehingga ketidaksengajaan tersebut tidak diatur. Maka pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Kemudian ketentuan pasal a quo juga tidak memberikan kebermanfaatan bagi Pemohon dan wajib pajak lainnya. Sebab penerapan sanksi pidana minimum dan maksimum menimbulkan ambiguitas dalam penerapannya termasuk dalam penetapan penjatuhan sanksi denda oleh penegak hukum, baik jaksa maupun hakim.

“Tentu hal ini selain bertentangan dengan konsep negara hukum,  hal ini juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, penjatuhan sanksi denda seharusnya cukup ditentukan maksimum khusus dengan ketentuan paling banyak dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar agar pada praktik tidak terdapat disparitas penjatuhan sanksi denda pada perkara perpajakan,” sebut Syarif dalam Sidang Panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh bersama dengan dua anggota panel yaitu Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur.


Baca juga:

Wajib Pajak Persoalkan Aturan Sanksi Pidana


Sebagai tambahan informasi, pada sidang pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (28/2/2024), Pemohon menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal yang diuji Pemohon dinilai tidak secara tegas mengatur unsur pemidanaan bagi wajib pajak yang tidak menyampaikan surat pemberitahuan atau keterangan yang isinya tidak lengkap. Dengan kata lain, pada norma tersebut hanya menekankan perihal unsur kesengajaan atas tidak menyampaikan surat pemberitahuan yang isinya tidak lengkap yang akan dikenakan sanksi pidana, namun untuk membuktikan kesengajaan tersebut tidak diatur lebih lanjut. Selain itu, adanya konsep minimum dan maksimum pada penerapan sanksi pidana tersebut menimbulkan ambiguitas dalam penetapan penjatuhan tuntutan atau sanksi denda oleh penegak hukum.

Dalam petitumnya, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 39 ayat (1) huruf d dan huruf i Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak diartikan ‘tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar’.

 

Penulis: Sri Pujianti.

Editor: Nur R.

Humas: Fauzan.  

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi