MK Tolak Permohonan Uji Formil UU Kesehatan
![](https://mkri.id/public/content/berita/original/berita_1709351003_ea91d442bc0737999cb3.jpg)
JAKARTA, HHUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan). Permohonan diajukan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI), Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (PP IBI), dan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI). Sidang pengucapan Putusan Nomor 130/PUU-XXI/2023 ini digelar pada Kamis (29/2/2024) di Ruang Pleno Sidang MK.
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan dengan didampingi seluruh hakim konstitusi.
Pembatasan Kewenangan Legislasi DPD
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arsul Sani, MK mengatakan terlihat bahwa sejak awal desain kelembagaan DPD dalam menjalankan fungsi legislasi tidaklah penuh seperti halnya kekuasaan legislasi DPR. Oleh karena itu, terhadap rancangan undang-undang yang memiliki irisan dengan daerah tidaklah serta merta menjadikan DPD berwenang untuk ikut membahasnya. Menurut Mahkamah, RUU yang menjadi kewenangan DPD untuk ikut membahasnya memang secara konstitusional telah dibatasi oleh UUD 1945.
“Pembatasan yang sudah jelas tersebut seharusnya tidak ditafsir secara meluas. Frasa “yang berkaitan” dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 tidak bisa ditafsirkan sebagai “mengandung aspek”, karena jika demikian rancangan undang-undang yang akan ikut dibahas oleh DPD akan sangat banyak, bahkan seluruh undang-undang tentu saja mengandung aspek daerah atau pemerintah daerah karena keberlakuan suatu undang-undang tidak hanya berlaku bagi warga negara dan penyelenggaraan pemerintahan di pusat tetapi juga berlaku bagi warga negara dan penyelenggaraan pemerintahan di daerah,” kata Arsul.
Terlebih, sambungnya, jika seluruh undang-undang yang berkaitan dengan daerah diartikan sebagai adanya kewenangan DPD maka hal tersebut jelas bertentangan dengan prinsip pembatasan kekuasaan (limitation of power), in casu pembatasan kewenangan legislasi DPD sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945. Dengan kata lain, pembedaan kekuasaan atau kewenangan legislasi antara DPR dan DPD menunjukkan bahwa sistem lembaga perwakilan Indonesia tidak menganut sistem dua kamar yang sama kuat (strong bicameralism). Oleh karena itu, menurut Mahkamah, UU Kesehatan sekalipun mengandung aspek daerah dan beririsan dengan pemerintah daerah, tidak serta merta dimaknai bahwa UU Kesehatan berkaitan langsung dengan otonomi daerah atau hubungan pusat dan daerah.
Begitu pula halnya dengan kewenangan DPD untuk terlibat dalam memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Menurut Mahkamah, hal ini sebangun (similar) dengan pertimbangan Mahkamah tentang kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU.
Para Pemohon mendalilkan bahwa UU Kesehatan memiliki materi muatan yang berkaitan dengan pendidikan, sehingga seharusnya mendapat pertimbangan dari DPD. Terhadap dalil demikian, Mahkamah berpendapat bahwa rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 tidaklah dapat begitu saja dimaknai jika sebuah undang-undang memiliki aspek dan beririsan dengan bidang pendidikan berarti langsung disebut sebagai rancangan undang-undang yang mengatur tentang pendidikan, seperti halnya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Arsul melanjutkan, meskipun UU Kesehatan mengandung aspek pendidikan di dalamnya tidaklah serta merta menjadi kewenangan DPD untuk memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undangnya.
Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), pembagian urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan untuk pengelolaan pendidikan tinggi merupakan kewenangan Pusat. Sedangkan daerah provinsi mengelola pendidikan menengah dan pendidikan khusus, serta daerah kabupaten/kota berwenang mengelola pendidikan dasar, pendidikan anak usia dini, dan pendidikan non-formal.
Fakta Persidangan
Selain pertimbangan hukum tersebut di atas, Arsul juga mengatakan, pada faktanya DPD tidak mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam perkara ini. Padahal, dalam proses pemeriksaan perkara ini, Mahkamah telah mengirimkan salinan permohonan melalui Surat Panitera Nomor 167.130/PUU/PAN.MK/SP/09/2023 bertanggal 25 September 2023, perihal Salinan Permohonan Perkara Nomor 130/PUU-XXI/2023 dan mengirimkan salinan perbaikan permohonan melalui Surat Panitera Nomor 124.130/PUU/PAN.MK/SP/10/2023 bertanggal 30 Oktober 2023, perihal Salinan Perbaikan Permohonan Perkara Nomor 130/PUU-XXI/2023.
Di samping itu, tidak adanya bukti dari pihak-pihak perkara ini yang menunjukkan bahwa DPD berkeberatan karena tidak dilibatkan dalam pembahasan maupun dimintakan pertimbangan dalam proses penyusunan UU Kesehatan. “Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa DPD tidak mempersoalkan ketidakterlibatannya dalam pembentukan UU 17/2023,” terang Arsul.
Dalam pertimbangan putusan ini MK juga mengatakan, dari seluruh proses pembentukan UU Kesehatan sebenarnya banyak kesempatan bagi DPD untuk dapat meminta terlibat dalam pembentukan UU Kesehatan. Dimulai pada saat pembahasan dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas). Sesungguhnya DPR, DPD dan Pemerintah telah duduk bersama membahas program-program legislasi dan akan tergambar yang mana yang berkaitan dengan kewenangan DPD dari program legislasi yang ada, sehingga DPD dapat mendeteksi, mengelompokkan dan menginventarisasi RUU mana saja DPD dapat ikut membahas dan RUU yang mana DPD memberi pertimbangan terhadap suatu RUU dalam forum/rapat penetapan RUU yang menjadi prolegnas.
Andaipun tidak terjadi pada saat rapat prolegnas, jika DPD kemudian ingin dilibatkan dalam proses pembentukan sebuah RUU, pimpinan DPD dapat memberikan pertimbangan secara tertulis kepada pimpinan DPR ataupun Presiden untuk dilibatkan atau dimintakan pertimbangan. Namun faktanya dalam proses pembahasan UU Kesehatan hal ini tidak ternyata telah dilakukan, setidak-tidaknya tidak ada bukti yang menunjukkan DPD berkeinginan untuk ikut membahas dan memberikan pertimbangan.
Terlebih, dengan mencermati pada bagian konsiderans mengingat pada UU 17/2023 tidak terdapat Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 sebagai landasan hukum pembentukan undang-undang Kesehatan. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, DPD yang tidak mempersoalkan keterlibatannya dalam pembentukan UU Kesehatan meskipun dalam batas penalaran yang wajar DPD dapat saja menyampaikan kepada DPR atau Presiden jika benar menjadi bagian dari kewenangan DPD baik yang terkait dengan wewenang ikut membahas maupun wewenang memberikan pertimbangan terhadap RUU dalam kerangka fungsi legislasi DPD, semakin meyakinkan Mahkamah bahwa DPD telah mafhum memahami dan mengamini UU 17/2023 adalah undang-undang yang bukan merupakan ruang lingkup substansi yang berkaitan dengan hal-ihwal yang secara limitatif diatur dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 untuk menjadi kewenangan DPD. Dengan demikian, proses pembentukan UU Kesehatan di lembaga legislatif yang didalilkan oleh para Pemohon mengharuskan keterlibatan atau pertimbangan DPD jelas tidak termasuk undang-undang yang menjadi bagian kewenangan DPD, baik dalam konteks ikut membahas maupun untuk memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 22D ayat (2) UUD 1945.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, rancangan UU 17/2023 yang pembahasannya tidak melibatkan DPD dan tidak juga meminta pertimbangan DPD, menurut Mahkamah tidak membuat UU 17/2023 menjadi cacat formil sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Sehingga dalil permohonan a quo tidak beralasan menurut hukum,” jelas Arsul membacakan pertimbangan hukum.
Selain itu, MK dalam pertimbangan yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menegaskan teknis penyusunan UU Kesehatan telah sesuai dengan Lampiran II UU 12/2011, yang sistematikanya terdiri atas bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, atau butir. Bahkan menurut Mahkamah, struktur dan sistematika UU Kesehatan telah sesuai dengan kaidah pembentukan undang-undang yang baik dengan metode omnibus yang menerapkan struktur penomoran yang sistematis sehingga mudah dibaca dan dipahami oleh pengguna dan pemangku kepentingan UU Kesehatan. Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon perihal UU Kesehatan cacat formil karena bentuk dan format yang tidak sesuai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, adalah tidak beralasan menurut hukum.
“Oleh karena itu, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, telah ternyata proses pembentukan UU 17/2023 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, UU 17/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” jelas Guntur.
ikhtilaf
Seluruh hakim konstitusi tidak bulat dalam pengambilan putusan pengujian formil UU Kesehatan ini. Terdapat empat hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur.
Suhartoyo mengungkapkan, pendapat berbeda dari empat hakim konstitusi tersebut pada intinya mengatakan bahwa permohonan pengujian formil UU Kesehatan ini seharusnya dikabulkan. Sebab, lanjutnya, keempat hakim itu memandang, UU Kesehatan harus dinyatakan cacat formil.
"Intinya, keempat hakim konstitusi dimaksud mempunyai pendapat, bahwa seharusnya permohonan Pemohon ini dikabulkan dan berpendapat pula, bahwa terhadap UU 17/2023 haruslah dinyatakan cacat formil," ungkap Suhartoyo.
Baca juga:
Cacat Formil UU Kesehatan Versi Organisasi Profesi
Lima Organisasi Profesi Medis Perbaiki Uji Formil UU Kesehatan
Sidang Uji Formil UU Kesehatan: DPR Tak Hadir, Pemerintah Belum Siap Beri Keterangan
Pembentukan UU Kesehatan untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Masyarakat
PDSI dan P2KPK Ungkap Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan UU Kesehatan
DPR Ungkap Keterlibatan Organisasi Profesi dalam Pembentukan UU Kesehatan
Akibat Hukum Ketidakterlibatan DPD dalam Pembentukan UU Kesehatan
Saksi Pemerintah Ungkap Kegiatan Dengar Pendapat Umum Bahas RUU Kesehatan
Sebagai tambahan informasi, dalam sidang perdana pengujian formil UU Kesehatan Perkara Nomor 130/PUU-XXI/2023 yang digelar di MK pada Kamis (12/10/2023), Muhammad Joni selaku kuasa hukum para Pemohon mengatakan, para Pemohon merupakan tenaga medis yang terdampak langsung dan memiliki kepentingan atas prosedur formil pembentukan UU Kesehatan. Sebab berdasarkan norma yang terbaru, terdapat muatan yang dihapus, diubah, dan diganti. Termasuk mengenai kelembagaan konsil, kolegium, dan majelis kehormatan disiplin yang diubah dan diganti tanpa prosedur formil yang memenuhi prinsip keterlibatan dan partisipasi bermakna (meaningfull participation).
Terlebih lagi, sambung Joni, adanya Bab XIX Ketentuan Peralihan, Pasal 451 yang menjadi norma hukum menghapuskan seluruh entitas kolegium yang merupakan organ “jantung” organisasi profesi (bukan organ pemerintah dan bukan "milik” pemerintah). Pasal 451 UU Kesehatan menyatakan, “Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Kolegium yang dibentuk oleh setiap organisasi profesi tetap diakui sampai dengan ditetapkannya Kolegium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 yang dibentuk berdasarkan Undang-undang ini.”
Cacat Formil
Pada alasan permohonan, para Pemohon menilai UU Kesehatan mengalami cacat formil. Hal ini karena tidak ikut sertanya DPD dalam pembahasan RUU Kesehatan dan tidak adanya pertimbangan DPD dalam pembuatan UU Kesehatan, serta tidak sesuai dengan prosedur pembuatan norma sebagaimana ditentukan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945.
Oleh karena itu, dalam petitum, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan UU Kesehatan tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang menurut UUD Negara RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi