Pemohon Perbaiki Permohonan Soal Ketiadaan Larangan Gabungan Parpol Terima Imbalan Pencalonan Capres

JAKARTA, HUMAS MKRI – Pemohon Perkara Nomor 18/PUU-XXII/2024 memperbaiki permohonan mengenai pengujian Pasal 228 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Norma yang diuji terkait aturan yang melarang partai politik (parpol) menerima imbalan dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden.

Risky Kurniawan selaku kuasa Pemohon menyampaikan hal-hal yang ada dalam perbaikan permohonan. Hal yang dimaksud, antara lain dalam posita permohonan terdapat penghapusan diksi diskriminatif, penambahan Undang-Undang Pemilu Perancis, penambahan positivisme hukum, histori perubahan UU Pemilu dan UU Pilkada, dan sebagainya, termasuk tulisan Hakim Konstitusi Saldi Isra bersama Khairul Fahmi dalam buku berjudul "Pemilihan Umum Demokratis".

“Dalam konteks ini tersedianya mekanisme judicial review merupakan jalan untuk menjaga regulasi pemilu dirumuskan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional yang dikehendaki konstitusi,” ujar Risky yang mengikuti persidangan melalui daring pada Rabu (28/2/2024).

Pemohon perkara ini ialah Otniel Raja Maruli Sitomurang yang merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam. Pemohon mempersoalkan ketiadaan aturan larangan bagi gabungan parpol menerima imbalan dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden dalam pasal yang diuji.

Baca juga: Menyoal Ketiadaan Larangan Aturan Sumber Keuangan Gabungan Parpol dalam Proses Pencalonan Presiden

Pasal yang diuji Pemohon, yakni Pasal 228 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan, “Partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden.” Pasal 228 ayat (2) UU Pemilu menyatakan, “Dalam hal partai politik terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), partai politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya.” Sementara, Pasal 228 ayat (3) UU Pemilu menyatakan, “Partai politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Sedangkan Pasal 228 ayat (4) UU Pemilu menyatakan, “Setiap orang atau lembaga dilarang memberikan imbalan kepada partai politik dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden.”
Pemohon menyebutkan ketentuan Pasal 228 UU Pemilu secara tegas melarang partai politik memberi atau menerima imbalan pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Jika partai politik tersebut terbukti dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka partai politik tersebut dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya.

 Namun dari pasal sebelumnya dan sesudahnya, yakni Pasal 226 dan 229 UU Pemilu terdapat syarat yang harus dipenuhi oleh partai politik dan gabungan partai politik. Sementara pada Pasal 228 UU Pemilu yang diajukan pengujiannya ini, tidak mengikutsertakan gabungan partai politik. Sehingga Pemohon menilai Pasal 228 UU Pemilu tidak sejalan dengan pasal lainnya yang mensyaratkan soal penerimaan imbalan yang berakibat pada ketidakpastian hukum.

Panel Hakim sidang perkara dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah. Sebelum menutup persidangan, Enny menginformasikan bahwa perkara ini akan dibawa ke rapat pleno untuk ditentukan kelanjutannya.(*)

Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina

Source: Laman Mahkamah Konstitusi