Pemohon Uji UU Narkotika Tambahkan Daftar Negara di Asia yang Gunakan Ganja Medis
JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang dari permohonan yang diajukan Pipit Sri Hartanti dan Supardji atas pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol yang Mengubahnya (UU 8/1976). Sidang kedua perkara yang diajukan orangtua dari Shita Aske Paramitha yang mengidap Cerebral Palsy sejak kecil ini dilaksanakan pada Senin (26/2/2024) di Ruang Sidang Panel MK.
Terhadap Perkara Nomor 13/PUU-XXII/2024 ini, Singgih Tomi Gumilang selaku kuasa hukum para Pemohon menyebutkan hal-hal yang telah disempurnakan pada permohonannya. Salah satunya, yakni pasal yang diiuji berupa pengujian materiil Pasal 1 ayat (2) beserta penjelasannya UU 8/1976 terhadap Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945. Berikutnya, para Pemohon juga telah melakukan penambahan negara-negara di Asia yang memanfaatkan ganja untuk kebutuhan medis.
“Memohon kepada Mahkamah agar menyatakan materi muatan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Penjelasannya (UU 8/1976) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengingat sepanjang tidak dimaknai sebagai ‘Protokol yang Mengubah Konvensi Tunggal Narkotika hingga protokol sesi ke-63 termasuk di dalamnya dokumen Commission on Narcotic Drugs Sixty-third sesion Vienna, 2-6 March 2020, yang menggunakan dokumen E/CN.7/2020/CRP.19’,” ucap Singgih membacakan perubahan Petitum para Pemohon yang dibacakan di hadapan Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur.
Baca juga: Penggunaan Ganja Medis Kembali Diuji Konstitusionalitasnya
Dalam permohonannya, para Pemohon mendalilkan Pasal 1 ayat (2) beserta Penjelasannya UU 8/1976 yang dinilai bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Para Pemohon menyampaikan pihaknya telah melakukan upaya untuk kesembuhan anaknya. Dari berbagai pengobatan yang dilakukan, dalam banyak penelitian uji coba minyak dari formulasi cannabis atau ganja dengan kandungan cannabidiol dan THC efektif digunakan kepada anak yang menderita gangguan motorik kompleks. Singkatnya, penggunaan kandungan ganja medis tersebut dapat mengurangi dampak dari dystonia dan kejang-kejang serta memperbaiki fungsi kemampuan motorik dan kualitas hidup.
Akan tetapi, Indonesia menggolongkan ganja dan turunannya sebagai Golongan I atau zat berbahaya dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan penggolongan zat narkotika merupakan hak setiap negara sepanjang dilakukan dengan niat baik untuk pengembangan layanan kesehatan dan kemampuan mengontrol zat dengan memastikan izin edar sesuai dengan peruntukkannya. Negara memiliki otoritas penuh atas perubahan golongan ataupun penetapan golongan tersebut dengan melihat kembali tujuan Konvensi dan UU dalam negaranya, termasuk Indonesia. Penggolongan zat ini seyogianya tidak dilakukan sebagai penundukan atas politik dan geopolitik pada saat Konvensi Tunggal 1961 terbentuk, melainkan harus dilihat ketersediaan dan akses layanan kesehatan yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia saat ini. Hal ini demi memastikan terpenuhinya kebutuhan obat-obatan yang masuk ke dalam Golongan I serta kemandirian negara atas kualitas layanan kesehatan yang lebih baik.
Para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan muatan materi dari Pasal 1 ayat (2) beserta Penjelasannya serta materi muatan Paragraf 7 dan Paragraf 8 uji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol yang Mengubahnya sepanjang kalimat ‘Protokol yang Mengubah Konvensi Tunggal Narkotika 1961’ dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengingat sepanjang tidak dimaknai sebagai ‘Protokol yang Mengubah Konvensi Tunggal Narkotika hingga protokol sesi ke-63 termasuk di dalamnya dokumen Commission on Narcotic Drugs Sixty-third sesion Vienna, 2-6 March 2020, yang menggunakan dokumen E/CN.7/2020/CRP.19’.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan
Source: Laman Mahkamah Konstitusi