Ibu Rumah Tangga Uji Norma PK dalam UU PTUN
![](https://mkri.id/public/content/berita/original/berita_1708654223_1c451a05f88c7187d788.jpg)
JAKARTA, HUMAS MKRI – Rahmawati Salam, seorang ibu rumah tangga, mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 24/PUU-XXII/2024 ini digelar di MK pada Kamis (22/2/2024).
Pemohon menilai norma yang diuji mengenai permohonan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA) atas putusan pengadilan yang inkrah, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pemohon memberikan kuasanya kepada advokat bernama Mohammad Erzad Kasshiraghi serta mahasiswa magang Fara Dilla dan Annisa Nabila dari kantor Hukum Triumvirate & Co.
Pasal 132 ayat (1) UU PTUN menyatakan, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”
Pemohon dalam permohonannya mengungkapkan kasus konkret yang dialaminya. Ia merupakan penggugat dalam perkara sengketa tata usaha negara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta melawan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (Menteri ATR/BPN RI). Gugatan Pemohon telah diputus kabul sebagian oleh PTUN Jakarta melalui Putusan Nomor 28/G/TF/2022/PTUN.JKT tanggal 24 Mei 2022.
Kemudian Menteri ATR/BPN mengajukan banding pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta. Sementara PTTUN Jakarta dalam putusannya menguatkan putusan sebelumnya dengan perbaikan amar sehingga menjadi kabul seluruhnya melalui Putusan Nomor 171/B/TF/2022/PT.TUN.JKT tanggal 16 Agustus 2022.
Selanjutnya, Menteri ATR/BPN mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan banding PTTUN Jakarta. Namun, MA pun dalam Putusan Nomor 184 K/TUN/TF/2023 tanggal 20 Juni 2023 menolak permohonan kasasi tersebut. Dengan demikian, pada 7 Agustus 2023, Pemohon mengajukan permohonan kepada Menteri ATR/BPN agar melaksanakan Putusan Kasasi MA yang telah berkekuatan hukum tetap.
Namun, Menteri ATR/BPN justru melakukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) atas Putusan Kasasi MA. Menurut Pemohon, adanya Pasal 132 ayat (1) UU PTUN sangat merugikan hak konstitusional Pemohon karena membuat badan dan/atau pejabat Tata Usaha Negara (TUN) in casu Menteri ATR/BPN tidak dibatasi untuk mengajukan PK atas Putusan Kasasi yang telah inkracht.
“Tidaklah adil jika dalam lingkup Peradilan Tata Usaha Negara, Badan dan/atau Pejabat TUN masih diberikan kesempatan untuk mengajukan Peninjauan Kembali,” ujar Erzad dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
Pemohon mengatakan, Mahkamah harus mempertimbangkan realita hukum saat ini di mana pedoman penanganan perkara oleh badan-badan pemerintah mewajibkan penanganan perkara harus dilakukan sampai ke tingkat PK. Menurutnya, memberikan hak kepada badan atau pejabat pemerintah untuk mengajukan PK berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena dalam praktiknya upaya PK hanya digunakan sebagai alasan untuk menunda atau memperlambat pelaksanaan eksekusi atas suatu putusan.
“Sebagaimana kasus konkret yang dialami Pemohon, hal ini membuat PK kehilangan esensinya sebagai upaya hukum luar biasa,” tutur Erzad.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 132 ayat (1) UU PTUN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai “Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, hanya seseorang atau badan hukum perdata yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.”
Saran Perbaikan
Sidang panel perkara ini dipimpin Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur. Enny menuturkan, Pemohon seharusnya lebih jelas menguraikan pertentangan antara Pasal 132 ayat (1) UU PTUN dan batu uji dalam UUD 1945 yang dimohonkan. Enny mengingatkan, MK tidak menyelesaikan kasus konkret, melainkan norma hukum yang berlaku erga omnes. Kasus konkret yang dialami Pemohon hanya sebagai pintu masuk mengajukan permohonan uji materi ke MK.
Sebelum menutup persidangan, Guntur mengatakan, Pemohon memiliki waktu paling lambat sampai 6 Maret 2024 pukul 09.00 WIB untuk mengajukan permohonan perbaikan. Majelis Panel Hakim Konstitusi mengingatkan Pemohon dapat mengajukan perbaikan permohonan lebih cepat dari waktu tersebut.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi