Pejabat Negara Kampanyekan Peserta Pemilu yang Miliki Hubungan Keluarga, Bentuk Nepotisme

JAKARTA, HUMAS MKRI – Keikutsertaan jabatan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota dalam kampanye peserta pemilu yang memiliki hubungan keluarga tergolong dalam perbuatan nepotisme.

Hal ini disampaikan oleh Ahli bidang studi hukum, masyarakat, dan pembangunan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Heru Susetyo dalam sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Heru dihadirkan oleh Gugum Ridho Putra selaku Pemohon Perkara Nomor 166/PUU-XXI/2023.

“Nepotisme memutus hubungan antara lapangan kerja dan meritokrasi dan dapat menciptakan peluang eksploitasi negara. Dengan kata lain, nepotisme menimbulkan kerugian bagi masyarakat, mulai dari persaingan tidak sehat untuk mendapatkan kesempatan kerja,” ujar Heru dalam sidang yang digelar pada Kamis (22/2/2024) di Ruang Sidang Pleno.

Heru menambahkan, pada pemerintahan yang baik, nepotisme menjadi hal yang penting dipandang sebagai sebuah masalah karena sangat memengaruhi politik dan bisnis. Dalam hal ini, sambungnya, keluarga pada dasarnya mendapatkan akses terhadap kekuasaan, sumber daya resmi, dan sebagainya hak istimewa karena adanya praktik nepotisme ini. Akibatnya pemerintah kehilangan kekuasaan di bidang ekonomi dan politik serta mengorbankan pembangunan dan pertumbuhan berkelanjutan.

Dalam pemilihan langsung, praktik nepotisme ini memiliki dampak merusak bagi demokrasi. Pemilihan langsung yang dibangun dengan nepotisme secara paralel akan menihilkan profesionalisme dan mengabaikan meritokrasi yang berbasis kinerja dan rekam jejak calon pejabat publik. Praktik nepotisme dalam pemilihan langsung ruangnya mulai dari tahapan pencalonan kandidat hingga proses pemilihan. Pihak yang memiliki otoritas dan pengaruh akan memengaruhi partai politik untuk mendukung dan mencalonkan anggota keluarga maupun kroni yang tidak memiliki rekam jejak.

“Dalam waktu yang bersamaan, praktik nepotisme juga mengabaikan proses kaderisasi dan meritokrasi dalam partai politik. Dalam pemilihan langsung, praktik nepotisme ini dinormalisasi atas nama pilihan rakyat melalui sistem demokrasi. Padahal, proses penentuan kandidasi hingga pemilihan ditopang dan dipengaruhi oleh keluarga atau kroni yang memiliki pengaruh, akses kekuasaan, dan sumber daya. Maka pembenaran praktik nepotisme melalui pemilihan langsung itu harus dihentikan guna mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN,” tegas Heru.

Batasan Pengguna AI

Dalam kesempatan tersebut, S. Kunto Adi Wibowo juga dihadirkan Pemohon sebagai Ahli. Ia menyebutkan informasi citra diri calon presiden, wakil presiden, kepala daerah, wakil kepala daerah, dan anggota legislatif mutlak diperlukan dalam demokrasi. Informasi citra diri tersebut membantu pemilih untuk menimbang dan memilah kandidat yang akan dipilih saat di TPS. Penggunaan citra diri yang secara sintetis diproduksi oleh Artificial Intelligence (AI) dalam kampanye politik nerupakan fenomena baru yang harus segera disikapi. Dengan keunikan yang dimiliki oleh Indonesia dalam hal demografi dan budaya masyarakat, sehingga perlu untuk segera mengambil inisiatif dengan cepat namun moderat untuk menghindarkan resiko buruk tetapi tetap mendapatkan manfaat dari teknologi produksi citra oleh AI tersebut.

Lebih jelas Kunto mengatakan citra diri masih menjadi rujukan bagi banyak pemilih Indonesia dalam menentukan pilihan saat pemilu. Dari perspektif pemilih, sambungnya, citra diri calon presiden atau calon legislatif menjadi informasi dominan dalam menentukan pilihan. Usaha mengedepankan penampilan, karakter, dan kepribadian yang menarik bagi pemilih menjadi mutlak bagi peserta pemilu untuk memenangi kompetisi elektoral. Sebab tiap calon, baik legislatif maupun ekskekutif ingin menunjukkan citra diri terbaik melalui kampanye yang dilakukan atau pun di atas lembaran kertas suara terutama bagi calon presiden dan wakil presiden, calon kepala daerah, dan calon anggota DPD.

“Bagi pemilih Indonesia yang mayoritas pemilih dengan rasionalitas terbatas, citra diri peserta pemilu menjadi pertimbangan penting. Secara heuristik, citra diri menunjukkan kualitas kandidat yang terlalu susah dibuktikan dengan menelisik rekam jejak calon dalam pemilu. Stereotipe yang bersandar pada citra diri yang menarik, gagah, berwibawa, merakyat, pintar, dan agamis menjadi strategi utama pertarungan komunikasi politik dalam kampanye pemilu,” jelas Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran tersebut.

Teknologi AI dalam memproduksi citra diri, lanjut Kunto, peserta pemilu berusaha untuk menampilkan citra diri sesuai dengan keinginan pemilih sebagaimana yang dapat dilihat pada hasil survei politik dan pemasaran. Kompetisi dalam usaha menampilkan citra diri terutama dalam komunikasi kampanye politik elektoral sepenuhnya menuntut inovasi untuk membedakan citra diri seorang peserta pemilu dengan yang lain. Sehingga, tanpa atau dengan AI, misinformasi tetap menjadi bagian dari musuh utama dalam demokrasi. Misinformasi menyerang kemampuan pemilih untuk mengambil keputusan dengan cara memanipulasi informasi dan menyusutkan kualitas informasi yang digunakan sebagai pertimbangan.

“Pemilih di Indonesia yang mayoritas mengandalkan jalan pintas kognitif yang bersandar pada stereotipe citra diri kandidat, akan tidak mampu membuat simpulan yang berkualitas jika informasi citra diri peserta pemilu jauh atau tidak berdasar pada kenyataan. Pembuatan informasi citra diri dengan menggunakan teknologi AI untuk produksi dan manipulasi citra atau gambar dan video berpotensi untuk menurunkan kualitas demokrasi. Singkatnya, pemilih tidak mendapatkan informasi yang baik sehingga pemimpin yang dihasilkan dari proses yang sedemikian rupa juga buruk kualitasnya,” terang Kunto.

Kampanye, Rekayasa Teknologi, dan Citra Diri

Terhadap paparan kedua Ahli ini, pertanyaan mencul dari meja para hakim konstitusi. Salah satunya Hakim Konstitusi Arsul Sani mengajukan pertanyaan kepada kedua Ahli mengenai kampanye oleh pejabat publik di sejumlah negara lain. Pada beberapa negara bukan untuk melarang pejabat publik berkampanye, tetapi menetapkan pembatasan ketat dan erat.

“Maka saya ingin mendapatkan keterangan lebih mendalam, adakah negara demokratis yang meletakkan prinsip tersebut terhadap pejabat publik yang ada dalam hubungan darah. Lalu saya juga minta pencerahan, dalam konstitusi kita peserta pemilu itu partai politik, lalu bagaimana mengatur menteri/gubernur yang menjadi bagian dari anggota partai yang harus juga melakukan kampanye khususnya untuk pemilihan daerah yang di dalamnya terdapat kerabatnya?” tanya Arsul.

Menjawab pertanyaan tersebut, Heru Susetyo menyampaikan berkampanye bagi pejabat negara merupakan hak politik, namun bukan berarti tidak berbatas. Ia menyebut tetap harus ada pembatasan yang diatur dalam perundang-undangan.

“Potensi (nepotisme) itu terlihat dan oleh karena itu harus diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Karena sudah dijelaskan di ICCPR bahwa boleh terjadi diskriminasi. Kalaupun harus diskriminasi, ada juga legalitasnya selama diatur dalam peraturan perundang-undangan,” ujar Heru.

Sementara itu, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menanyakan tentang rekayasa foto yang dibuat dengan  teknologi AI yang dalam pandangannya mungkin saja tergolong pada pembohongan publik karena memoles sedemikian rupa. “Akan tetapi jika itu produksi dari produk sintetis AI dan publik mengetahui hal tersebut hasil teknologi, ini kalau dilarang berarti kita melarang inovasi, lalu bagaimana menyikapinya?” tanya Guntur pada Kunto.

Kemudian Wakil Ketua MK Saldi Isra menyebutkan kemajuan teknologi seperti pisau bermata dua. “Lalu bagaimana meminimalisir kemajuan teknologi itu nantinya tidak menjadi instrumen penyebar informasi yang tidak akurat dalam kepemiluan dan justru menjadi poin positif bagi demokrasi?” terang Saldi menjabarkan inti dari pertanyaannya pada Ahli Pemohon.


Baca juga:

Pejabat Negara Kampanye Berpotensi Konflik Kepentingan
Advokat Perbaiki Uji Citra Diri Peserta Pemilu
Pemerintah: Keikutsertaan Pejabat Negara dalam Berkampanye, Bentuk Hak Warga Negara


 

Dalam permohonannya, Pemohon menyebutkan terdapat kekosongan hukum dalam aturan kampanye pada penyelenggaraan Pemilu 2024 mendatang di tengah potensi adanya konflik kepentingan, pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), serta tidak adanya pembatasan penampilan citra diri. Pemohon menjelaskan, presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota sepatutnya dilarang mengikuti kampanye keluarganya yang menjadi peserta pemilu. Sebab, hal ini sebetulnya telah diatur Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menginginkan pemilu dilaksanakan secara bebas, jujur, dan adil.

Pemohon mengatakan, pembiaran bagi presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota untuk dapat mengikuti kampanye anggota keluarganya yang ikut kontestasi pemilu secara langsung bertentangan dengan prinsip pemilu yang bebas, jujur, dan adil. Kehadiran secara fisik para pejabat itu akan menjadi perintah non-verbal yang sangat kuat kepada khalayak luas bahwa sang pejabat secara tidak langsung meminta seluruh masyarakat mengikuti pemilihannya untuk turut mendukung keluarganya yang ikut dalam kontestasi pemilu.

Berikutnya, Pemohon mempersoalkan ketiadaan larangan bagi Peserta Pemilu untuk menggunakan citra diri berupa foto/gambar, suara, gabungan foto/gambar dan suara dengan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan secara digital ataupun teknologi artificial intelligence (AI) yang dianggap seolah-olah sebagai citra diri yang otentik. Melalui kecanggihan teknologi, Peserta Pemilu dapat melebih-lebihkan citra dirinya melebihi keadaan yang sebenarnya. Ketiadaan larangan ini dapat menyebabkan misinformasi bagi Pemilih sehingga berpotensi memanipulasi persepsi Pemilih terhadap kandidat. Menggiring Pemilih menggunakan hak pilihnya secara keliru (misguided voting). Pemohon menjelaskan, UU Pemilu belum mengatur seluk-beluk citra diri peserta pemilu yang akan dipergunakan dalam materi kampanye. Pembatasan penggunaan teknologi digital termasuk bantuan AI juga belum diatur. Akibatnya, peserta pemilu dapat dengan leluasa melakukan pemolesan tanpa batasan.(*)

Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha

Source: Laman Mahkamah Konstitusi