Menyoal Ketiadaan Larangan Aturan Sumber Keuangan Gabungan Parpol dalam Proses Pencalonan Presiden
JAKARTA, HUMAS MKRI – Aturan yang melarang partai politik (parpol) menerima imbalan dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Otniel Raja Maruli Sitomurang yang merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam menguji Pasal 228 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 18/PUU-XXII/2024 ini dilaksanakan di Ruang Sidang Panel MK pada Selasa (13/2/2024).
Pasal yang diuji Pemohon, yakni Pasal 228 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan, “Partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden.” Pasal 228 ayat (2) UU Pemilu menyatakan, “Dalam hal partai politik terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), partai politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya.” Sementara, Pasal 228 ayat (3) UU Pemilu menyatakan, “Partai politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Sedangkan Pasal 228 ayat (4) UU Pemilu menyatakan, “Setiap orang atau lembaga dilarang memberikan imbalan kepada partai politik dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden.”
Albert Ola Masan Setiawan Muda selaku kuasa Pemohon menyebutkan ketentuan Pasal 228 UU Pemilu secara tegas melarang partai politik memberi atau menerima imbalan pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Jika partai politik tersebut terbukti dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka partai politik tersebut dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya. Namun dari pasal sebelumnya dan sesudahnya, yakni Pasal 226 dan 229 UU Pemilu terdapat syarat yang harus dipenuhi oleh partai politik dan gabungan partai politik. Sementara pada Pasal 228 UU Pemilu yang diajukan pengujiannya ini, sambung Albert, tidak mengikutsertakan gabungan partai politik. Sehingga Pemohon menilai Pasal 228 UU Pemilu tidak sejalan dengan pasal lainnya yang mensyaratkan soal penerimaan imbalan yang berakibat pada ketidakpastian hukum termasuk bagi Pemohon.
“Berdasarkan uraian yang ada, Pemohon meminta kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 228 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunya kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden,” ucap Albert di hadapan Panel Hakim yang terdiri atas Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.
Posita yang Ajek
Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dalam nasihatnya mencermati permohonan Pemohon tentang kejelasan norma yang diujikan karena aturan tentang pencalonan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik dan gabungan partai politik. “Sehingga bagaimana keterkaitan kerugian warga negara sebagai pemilih dalam pemilu dengan gabungan partai politik yang bersih dari imbalan-imbalan dalam proses pencalonan capres dan cawapres yang dimaksudkan seperti apa? Coba perhatikan lagi substansinya, agar positanya ajek,” jelas Guntur.
Berikutnya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menekankan perlu bagi Pemohon untuk memahami setiap partai politik dapat menerima sumber keuangan untuk kampanye dan lainnya. Hal tersebut sudah termuat pada pasal-pasal yang menjelaskan bagaimana keberadaan keuangan sebuah partai politik sesuai dengan ketentuan undang-undang.
“Mungkin perlu juga bagi Pemohon untuk membuat uraian asas jaminan perlindungan hukum dengan tanpa dimaknai gabungan partai politik (yang menerima imbalan). Jadi uraikan kedudukan Pemohon sesuai syarat kerugian dengan pertentangan norma dengan asas pemilu dan UUD 1945,” saran Enny.
Setelah memberikan nasihat Panel Hakim, Enny memberitahukan Pemohon agar memperbaiki permohonan selama 14 hari. Kemudian selambat-lambatnya naskah yang telah diperbaiki tersebut dapat diserahkan pada Senin, 26 Februari 2024 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina
Source: Laman Mahkamah Konstitusi