Pemohon Minta Putusan MK Yang Langgar Kode Etik Dapat Diuji

JAKARTA, HUMAS MKRI – Seorang mahasiswa bernama Adoni Y. Tanesab mengajukan permohonan pengujian Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK). Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menafsirkan frasa “undang-undang” dalam norma pasal tersebut meliputi Putusan Mahkamah Konstitusi yang proses pemeriksaan dan pengambilan putusannya dinyatakan terbukti melanggar prinsip independensi dan prinsip ketidakberpihakan Kode Etik Perilaku Hakim Konstitusi (Sapta Karsa Hutama) berdasarkan Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

“Menyatakan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berikut Penjelasannya, Lembaran negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076 yang berbunyi "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji "undang-undang" terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa "undang-undang" tidak dimaknai “meliputi Putusan Mahkamah Konstitusi yang proses pemeriksaan dan pengambilan Putusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan terbukti melanggar prinsip independensi dan prinsip ketakberpihakan Kode Etik Perilaku Hakim Konsitusi (Sapta Karsa Hutama) berdasarkan Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)”,” ujar kuasa hukum Pemohon, Marthen Boiliu saat membacakan petitum permohonan Perkara Nomor 7/PUU-XXII/2024 dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang MK, Kamis (1/2/2024).

Pengujian UU KK ini merupakan buntut Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang membuat tafsir baru terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengenai ketentuan persyaratan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres). Karena adanya Putusan MK dimaksud, Pemohon tidak dapat mengajukan permohonan pengujian agar Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dibatalkan sebab MK tidak memiliki kewenangan untuk itu.

“Mengakibatkan Pemohon tidak mendapat/memperoleh kepastian hukum dan keadilan hukum sehingga Pemohon dirugikan oleh pasal yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo. Dengan demikian, ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara pasal-pasal dari Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo dengan kerugian hak dan/atau kewenangan konsitusional yang didalilkan Pemohon,” kata Pemohon dikutip berkas permohonan Pemohon yang terdaftar dengan Perkara Nomor 7/PUU-XXII/2024.

Selain itu, Pemohon menganggap haknya untuk memilih capres dan cawapres yang memenuhi syarat, telah dirugikan oleh keluarnya Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi sumber norma hukum baru. Terlebih lagi, pemeriksaan dan pengambilan putusan tersebut ternyata terbukti melanggar kode etik perilaku hakim konstitusi berdasarkan putusan MKMK.

 

Nasihat Hakim

Hakim Konstitusi Saldi Isra yang bertindak sebagai ketua panel dalam sidang pemeriksaan perkara ini, dalam nasihatnya mengatakan, norma yang diuji Pemohon merupakan turunan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sehingga, apabila MK mengabulkan permintaan Pemohon, maka Mahkamah akan melanggar konstitusi.

“Norma konstitusi dipindahkan ke undang-undang, Anda minta dimaknai menjadi ditambah dengan sepanjang bla bla bla begitu. Tolong dipikirkan lagi itu, apa Anda mau meneruskan permohonan ini atau tidak,” ucap Saldi yang didampingi Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur pada persidangan tersebut.

Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.”

Saldi melanjutkan, Mahkamah menguji norma umum atau norma dalam undang-undang terhadap konstitusi. Jika Pemohon memaknai norma umum itu dengan pengalaman kasus konkret sebagaimana yang diinginkan Pemohon, maka Mahkamah akan kesulitan menguji undang-undang yang sudah dimaknai itu.

Selain itu, terang Saldi, Pemohon harus menguraikan secara jelas dan terperinci mengenai kedudukan hukum (legal standing) serta kerugian hak konstitusional. Jika tidak, permohonan Pemohon akan dianggap kabur (obscure libel) dan MK menyatakan tidak dapat menerima permohonan Pemohon.

Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan, Pemohon memiliki waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan atau mempertimbangkan untuk mencabut permohonan dan mengajukan permohonan yang baru. Perbaikan permohonan paling lambat diserahkan ke MK pada Kamis, 15 Februari 2025 pukul 09.00 WIB.

 

Penulis: Mimi Kartika.

Editor: Nur R.

Humas: Andhini SF.

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi