Tenggang Waktu Praperadilan Demi Kepastian Hukum
JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima dan menolak permohonan Imam Subekti, seorang tukang batu/bangunan dari Malang, Jawa Timur. Imam Subekti (Pemohon) melakukan pengujian Pasal 82 ayat (1) huruf d dan Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP).
“Menyatakan permohonan Pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 83 ayat (1) KUHAP tidak dapat diterima. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya,”ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan perkara 163/PUU-XXI/2023 pada Rabu (31/01/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengatakan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015, Mahkamah telah memberikan penafsiran batas waktu yang dimaksud oleh Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, yaitu permohonan praperadilan dinyatakan gugur ketika telah dimulainya sidang pertama terhadap pokok perkara yang dimohonkan praperadilan, terlepas dari apapun agenda dalam sidang pertama tersebut. Pendirian Mahkamah sebagaimana termaktub dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 tersebut diperkuat dan ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XVI/2018 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XXI/2023.
Sehubungan dengan hal tersebut, sambung Guntur, jika norma a quo dimaknai "tidak bisa dimintakan permintaan peninjauan kembali sebagaimana yang diinginkan oleh Pemohon, menurut Mahkamah maka hal tersebut justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015. Sebab, fungsi lembaga praperadilan pada dasarnya untuk mengontrol pelaksanaan kewenangan penyidik dan penuntut umum sebelum pokok perkara dilakukan pemeriksaan oleh pengadilan. Sehingga norma pembatasan waktu pemeriksaan praperadilan selama 7 (tujuh) hari merupakan norma tenggang waktu yang rasional dan cukup untuk menyelenggarakan sidang praperadilan, karena obyek dan ruang lingkup praperadilan telah ditentukan batas-batasnya baik dalam KUHAP maupun putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
“Oleh karena itu terhadap putusan praperadilan tidak relevan untuk dimintakan proses peninjauan kembali,” kata Guntur.
Terlebih, Guntur melanjutkan, jika tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak pemeriksaan pertama untuk menyelesaikan pemeriksaan dan sidang praperadilan dikaitkan dengan norma Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 yaitu permintaan praperadilan dinyatakan gugur ketika telah dimulainya sidang pertama terhadap pokok perkara yang dimohonkan praperadilan adalah terkait satu sama lain dan bersifat saling melengkapi, sehingga lembaga praperadilan tidak memerlukan mekanisme peninjauan kembali. Oleh karena itu, keberadaan norma a quo selain menjadi tolok ukur waktu yang jelas untuk pemeriksaan praperadilan karena sejatinya lembaga praperadilan mengusung asas peradilan cepat (speedy trial).
Kepastian Hukum
Menurut Mahkamah, kedua norma tersebut juga dimaksudkan guna memberikan kepastian hukum yang adil terhadap pokok perkara yang sebelumnya melalui upaya praperadilan. Dengan kata lain, tenggang waktu pemeriksaan dan penanganan perkara praperadilan telah diatur secara terukur dan pasti dalam norma pasal a quo termasuk pemaknaan baru berdasarkan putusan Mahkamah tersebut. Terlebih, jika mengikuti keinginan Pemohon agar pokok perkara dilakukan penundaan hingga penyelesaian putusan praperadilan maka hal tersebut justru akan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum karena terhadap pokok perkara berkelindan dengan antara lain masa penahanan yang dibatasi waktu yang berpotensi terdakwa dapat dilepaskan demi hukum dan hal-hal lain,”tegas Guntur.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tersebut jelas tidak sejalan dan bertentangan dengan pendirian Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU- XIII/2015, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XVI/2018, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XXI/2023.
Implementasi Norma
Dalil Pemohon yang mengkhawatirkan norma a quo dapat digunakan untuk bertindak sewenang-wenang oleh pihak pengadilan sehingga merugikan pihak yang mengajukan permohonan praperadilan, menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan persoalan implementasi norma yang tidak berkaitan dengan isu konstitusionalitas norma a quo. Ihwal ini, jika yang diuraikan dalam permohonan adalah benar, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua aparat penegak hukum terkait, in casu hakim, tidak dibenarkan untuk bertindak sewenang-wenang, karena tindakan sewenang-wenang tersebut, selain merupakan pelanggaran hukum acara (formil) juga perbuatan yang melanggar kode etik.
Oleh karena itu, jika terjadi tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum, in casu hakim, maka terdapat mekanisme hukum yang tersedia untuk mempersoalkan tindakan sewenang-wenang dan perilaku hakim yang tidak profesional, seperti melaporkan hal tersebut ke Komisi Yudisial. Terlebih, dengan memahami Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 seharusnya dilakukan koordinasi dan sinergi antar penegak hukum sehingga tidak ada alasan bagi hakim praperadilan untuk tidak segera melaksanakan sidang perkara praperadilan yang telah diajukan dan segera memutusnya.
Demikian juga dengan majelis hakim yang memeriksa pokok perkara, seyogianya melaksanakan sidang secara prosedural tanpa harus dikaitkan dengan ada atau tidaknya praperadilan. Oleh karena itu, jika yang dimohonkan oleh Pemohon dikabulkan, maka esensi norma a quo dan semangat putusan Mahkamah akan hilang dan berujung pada timbulnya ketidakpastian dan ketidakadilan hukum dalam perkara pidana yang berkelindan dengan proses praperadilan. Mahkamah menegaskan dalam kaitan dengan norma a quo tidak terdapat urgensi bagi Mahkamah untuk berubah pendirian. Dengan demikian, dalil Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.
Menurut Mahkamah, ketentuan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP telah ternyata memberikan kepastian hukum yang adil dan memberikan perlindungan terhadap diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 281 ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, permohonan Pemohon sepanjang Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP tidak beralasan menurut hukum, sedangkan terhadap permohonan Pemohon sepanjang Pasal 83 ayat (1) KUHAP adalah tidak jelas atau kabur (obscuur).
Baca juga:
Tukang Bangunan Uji Aturan Gugurnya Praperadilan dalam KUHAP
Penulis: Utami ARgawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi