Dua Perkara Uji UU MK Ditolak

JAKARTA, HUMAS MKRI – Dua permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang diajukan oleh Rega Felix ditolak untuk seluruhnya oleh Majelis Hakim Konstitusi. Dua perkara yang diputus tersebut, yakni Perkara Nomor 152/PUU-XXI/2023 dan 153/PUU-XXI/2023. Kedua putusan perkara tersebut dibacakan oleh Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo pada Rabu (31/1/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. “Mengadil, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Suhartoyo membacakan Amar Putusan dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya

Dalam Perkara Nomor 152/PUU-XXI/2023, Rega menguji Pasal 54 UU MK. Menurutnya, Pemohon sedang mengalami kasus aktual yang sedang diujikan di MK dengan sifat kerugian konstitusional yang aktual. Pemohon sudah meminta bantuan jawaban dari pembentuk UU terhadap permasalahan Pemohon, tetapi tidak/belum digubris oleh Pembentuk UU—dalam hal ini DPR. Padahal DPR adalah wakil rakyat yang seharusnya menjawab pengaduan/aspirasi/persoalan yang dihadapi rakyatnya secara khusus yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Akibat dari tidak jelasnya kata “dapat” dalam Pasal 54 UU MK menjadikan perkara Pemohon berpotensi diputus tanpa proses hukum yang fair, sehingga kasus Pemohon akan terus menggantung dan pembentuk UU terbebas dari tanggung jawab untuk memberikan keterangan.

Atas permohonan tersebut, Majelis Hakim Konstitusi menilai tersebut, tidak setiap perkara yang dimohonkan pengujiannya memerlukan Pemeriksaan Persidangan (sidang pleno). Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang membacakan pertimbangan hukum menyampaikan keputusan untuk menerapkan atau tidak Pasal 54 UU MK tersebut disesuaikan dengan kebutuhan perkara yang sedang diperiksa, termasuk tiga parameter yang dimohonkan oleh Pemohon. Oleh karena setiap perkara memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda, maka dengan adanya kata "dapat dalam norma Pasal 54 UU MK, Mahkamah memiliki kebebasan sesuai dengan keyakinan hakim yang diputuskan dalam rapat permusyawaratan hakim. Dalam hal ini, apabila dinilai permohonan dan alat bukti yang diajukan sudah ‘cukup jelas’ sesuai dengan penilaian dan keyakinan hakim, maka Mahkamah tanpa keraguan memutus perkara dimaksud dengan tidak perlu lagi ada Pemeriksaan Persidangan (sidang pleno).

“Hal ini merupakan bagian dari penerapan prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Oleh karena itu, dalam beberapa perkara yang diajukan ke Mahkamah tidak seluruhnya perlu dilakukan pemeriksaan persidangan termasuk untuk mendengarkan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam norma Pasal 54 UU MK,” ujar Enny.

Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Enny menyebut kata “dapat” dalam penormaan undang-undang merupakan hal yang lazim dilakukan, demikian halnya yang terdapat dalam Pasal 54 UU MK. Dalam kaitan ini tidak dapat dipersamakan penilaian hakim dalam menggunakan kata “dapat” untuk memutus penerapan Pasal 54 UU MK dengan diskresi yang dilakukan penyelenggara negara sebagaimana didalilkan Pemohon.

“Dengan demikian, dalil Pemohon untuk mengubah kata ‘dapat’ menjadi ‘wajib’ dalam ketentuan a quo justru dinilai sebagai hal yang dapat mempersempit kebebasan hakim dalam menentukan pihak-pihak yang didengar dalam Pemeriksaan Persidangan (sidang pleno). Terlebih lagi, apabila kata ‘dapat’ dimaknai sebagai ‘wajib’, termasuk untuk tiga parameter yang didalilkan Pemohon, hal demikian akan memaksa Mahkamah untuk selalu memeriksa perkara apapun dalam Pemeriksaan Persidangan (sidang pleno),” jelas Enny.

Baca juga:

Uji Konstitusionalitas Batas Usia Hakim Konstitusi
Pemohon Perbaiki Uji Konstitusionalitas Batas Usia Hakim Konstitusi

Batas Usia Konstitusional

Sementara itu, dalam Perkara Nomor 153/PUU-XXI/2023, Pemohon menguji Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 23 ayat (1) huruf d, dan Pasal 26 ayat (1) huruf b UU MK. Pemohon mendalilkan bahwa dirinya memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi hakim konstitusi sebagaimana yang telah dilindungi oleh Pasal 27 Ayat (3) UUD 1945, Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3) UUD 1945, dan Pasal 24C Ayat (5) UUD 1945 karena Pemohon merupakan alumni fakultas hukum khususnya jurusan HTN yang berprofesi sebagai advokat jadi linear dengan syarat hakim konstitusi. Namun, karena syarat usia minimum hakim konstitusi sering diubah-ubah menjadi semakin tinggi—saat ini 55 tahun, tanpa dasar rasionalitas yang jelas menyebabkan kerugian konstitusional Pemohon.

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Pemohon dalam permohonannya memberikan alasan pengujian yang berbeda dengan Perkara Nomor 81/PUU-XXI/2023, namun pada intinya memiliki kesamaan esensi, yaitu syarat usia minimal menjadi hakim konstitusi sering mengalami perubahan, sehingga menempatkan Pemohon yang berkeinginan menjadi hakim konstitusi dalam kondisi ketidakpastian terutama mengenai kapan Pemohon memenuhi syarat untuk mengajukan diri menjadi calon hakim konstitusi. Dalam kaitan ini, lanjutnya, penting ditegaskan bahwa Mahkamah tetap pada pendiriannya sebagaimana telah dipertimbangkan dalam kutipan pertimbangan hukum di atas bahwa perubahan yang berkaitan dengan syarat-syarat jabatan hakim konstitusi khususnya syarat usia minimal, usia pensiun, dan masa jabatan, Mahkamah menilai secara umum perubahan undang-undang merupakan sesuatu yang wajar karena hukum memang dituntut untuk selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, sepanjang hal tersebut tidak mengancam kemandirian kekuasaan kehakiman sebagaimana termaktub dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.

“Dalam hal terjadi perubahan UU MK, perubahan tersebut diberlakukan bagi calon hakim konstitusi yang akan diajukan oleh lembaga pengusul sebagaimana telah ditegaskan dan dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-XXI/2023,” papar Guntur.

Kemudian, Guntur menambahkan terkait penambahan syarat alternatif dalam petitum permohonan yaitu jika syarat usia minimal yang digunakan tetap 55 (lima puluh lima) tahun, maka Pemohon merekomendasikan untuk dimungkinkan adanya penambahan syarat alternatif yaitu “atau telah mendapatkan rekomendasi sedikitnya dari 2 (dua) guru besar yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan”. Terhadap penambahan syarat alternatif yang dikemukakan Pemohon, setelah Mahkamah cermati dengan saksama dalam permohonannya, Pemohon tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai kriteria guru besar yang dapat diberikan kewenangan untuk memberikan rekomendasi kepada lembaga pengusul, hanya memberikan kriteria guru besar yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.

Mahkamah pun mempertimbangkan dalam kaitan dengan syarat usia jabatan hakim konstitusi, untuk disandingkan atau disetarakan dengan syarat mendapatkan 2 (dua) rekomendasi dari guru besar. Selain tidak setara memadankan antara norma usia dengan rekomendasi 2 (dua) guru besar, syarat alternatif tersebut juga tidak memiliki basis argumentasi yang fundamental dari Pemohon mengenai jumlah 2 (dua) guru besar yang memberikan rekomendasi dalam pemenuhan syarat calon hakim konstitusi. Sehingga menurut Mahkamah, penempatan syarat alternatif adanya rekomendasi diletakkan bersamaan dengan syarat usia adalah tidak tepat. Dengan tidak jelasnya kriteria guru besar dan tidak tepatnya peletakan dalam syarat alternatif, maka menurut Mahkamah, syarat alternatif tersebut tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan lebih lanjut.

“Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020 inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun atau telah mendapatkan rekomendasi sedikitnya dari 2 (dua) guru besar yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan’ adalah tidak beralasan menurut hukum,” tandas Guntur. (*)

Penulis: Fauzan Febriyan/L.A.P
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina

Source: Laman Mahkamah Konstitusi