Mahasiswa STIS As-Salafiyah Belajar Hukum dan Konstitusi di MK

JAKARTA, HUMAS MKRI - Sekitar 45 orang mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Syari'ah (STIS) As-Salafiyah Sumber Duko Pamekasan, Jawa Timur, mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (24/1/2024). Asisten Ahli Hakim Konstitusi Mohammad Mahrus Ali, menerima kunjungan mahasiswa tersebut di Aula Gedung 2 MK, Jakarta dengan materi mengenai Mahkamah Konstitusi, dimensi hukum Islam dan demokrasi konstusional.

Pria yang akrab disapa Cak Ali itu mengatakan, MK menjadi amanat reformasi sebagai lembaga yang dapat memeriksa dan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sebab, undang-undang sebagai produk hukum hasil dari kinerja DPR terdapat kepentingan politik yang mengakibatkan beberapa masyarakat dirugikan.

“Jadi amanat reformasi itu melahirkan lembaga yang memastikan produk legislasi  anggota DPR berupa undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi, karena undang-undang itu adalah berisi kepentingan politik, jadi undang-undang itu bukan produk hukum tetapi di dalamnya banyak kepentingan oleh karena itu ketika undang-undang itu diciptakan berpotensi merugikan publik,” ujar Ali.

Selanjutnya, dia memaparkan mengenai kewenangan dan kewajiban MK. Ali mengatakan, MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan tersebut antara lain, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. MK memiliki kewenangan tambahan yaitu memutus perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) karena masuk rezim pemilu.

Sementara, satu kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD 1945. Pelanggaran dimaksud disebutkan dan diatur dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yaitu melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Namun, kata Ali, proses pemakzulan atau impeachment tidak mudah dan membutuhkan proses yang panjang. Dia menyebut, permohonan impeachment itu diajukan ke MK berdasarkan PMK Nomor 21 Tahun 2009. Kemudian, MK memeriksa, mengadili, dan memutus apakah presiden dan/atau wakil presiden terbukti melanggar atau tidak. Putusan MK itu kemudian dikembalikan lagi kepada DPR, selanjutnya MPR dapat menyetujui atau tidak pemakzulan tersebut. Jika disetujui, maka presiden diberhentikan atau bila tidak disetujui, maka presiden tetap menjabat.

Selain itu, Ali menjelaskan tentang komposisi sembilan hakim konstitusi yang berasal dari tiga lembaga negara (masing-masing tiga orang) lainnya, yaitu Mahkamah Agung (MA), DPR, dan presiden. Meskipun berasal dari ketiga lembaga kekuasaan negara, hakim konstitusi terikat dengan kode etik hakim konstitusi yaitu Sapta Karsa Hutama dan sikap sebagai negarawan.

Untuk saat ini, komposisi hakim konstitusi antara lain yang berasal dari Mahkamah Agung terdiri dari Ketua MK Suhartoyo, Hakim Konstitusi Anwar Usman, dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur; hakim konstitusi yang diajukan DPR ialah Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, dan Hakim Konstitusi Arsul Sani; serta hakim konstitusi yang diajukan presiden yaitu Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, serta Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Ali menekankan, para hakim konstitusi harus menegakkan independensi.

Berkaitan dengan data perkara, Ali menyebutkan, sejak 2003 sampai Desember 2023, MK menerima sebanyak 3.631 perkara. Rinciannya, terdiri dari 1.790 perkara pengujian undang-undang, 1.136 perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, 676 perkara perselisihan hasil pemilihan umum, dan 29 perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Sementara itu, undang-undang yang paling sering diuji adalah UU Pemilu sebanyak 42 kali.

Dalam konteks putusan-putusan MK yang berkaitan dengan hukum Islam, Ali memaparkan bahwa putusan-putusan MK banyak diteliti untuk menjadi karya ilmiah baik skripsi, tesis atau disertasi. Untuk itu, ia menyarankan para mahasiswa juga dapat meneliti putusan-putusan MK. Ia mencontohkan putusan MK terkait hukum Islam yakni Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 yang memutus Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945. MK menafsirkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Tujuan dari MK adalah untuk menegaskan bahwa anak luar kawin pun berhak mendapatkan perlindungan hukum.

“Putusan MK tidak hanya terkait hukum tata negara, tapi lintas keilmuan, lintas bidang, ada putusan-putusan MK yang berkaitan dengan hukum Islam, politik, ekonomi,  kesehatan, peternakan, itu sangat menarik sekali untuk dijadikan bahan seminar, penelitian, tugas akhir,” kata Ali.

Menutup paparannya, Ali juga menyinggung sekilas mengenai peran MK dalam menegakkan demokrasi konstitusional dengan beberapa putusan yang mengubah sistem pemilu seperti pemilu serentak dan pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Disamping itu, Ali mengulas regulasi mengenai Perselisihan hasil Pemilu Legislatif dan Presiden tahun 2024. (*)

Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.

Source: Laman Mahkamah Konstitusi