Nilai Klaim Asuransi Tak Sesuai, Pemohon Uji KUHD

JAKARTA, HUMAS MKRI – Seorang warga Nias, Sumatera Utara bernama Sopan Santun Duha mengajukan permohonan pengujian Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon Perkara Nomor 2/PUU-XXII/2024 itu merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena menerima nilai klaim asuransi Rp 224,5 juta yang tidak sesuai dengan semestinya Rp 735 juta. Namun di tengah persidangan berlangsung, kuasa hukum Pemohon, Rendi Vlantino Rumapea, menyatakan bahwa Pemohon sudah meninggal dunia.

“Pasal 251 KUHD membuka ruang yang begitu besar bagi perusahaan asuransi untuk memanfaatkan norma tersebut guna kepentingan pribadi perusahaan dan juga dapat dimanfaatkan guna menghindari pertanggungjawaban atas kesalahan atau kelalaian yang dibuat oleh tim internal perusahaan asuransi itu sendiri,” ujar kuasa hukum Pemohon, Rendi Vlantino Rumapea, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Selasa (23/1/2024) di Ruang Sidang MK.

Pasal 251 KUHD menyatakan, “Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyiannya keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal.” Pemohon menilai norma tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 (inkonstitusional).

Menurut Pemohon, Pasal 251 KUHD luput untuk memberikan kepastian hukum yang adil, jaminan, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi tertanggung. Pemohon mengatakan, pengaturan ini sering kali dimanfaatkan sebagai celah hukum oleh perusahaan asuransi yang mengakibatkan kerugian bagi tertanggung.

Pemohon berpendapat, Pasal 251 KUHD telah memberikan hak kepada perusahaan asuransi untuk bertindak sebagai hakim atas perkaranya sendiri, yakni menilai apakah terdapat pemberitahuan yang keliru atau tidak benar dan penyembunyian keadaan tertentu yang diduga dilakukan tertanggung. Perusahaan asuransi dapat membatalkan polis secara sepihak tanpa mempertimbangkan dan menilai keterangan tertanggung.

Hak dan kewenangan untuk membatalkan polis secara sepihak yang diberikan kepada perusahaan asuransi telah nyata meniadakan perlindungan terhadap premi dan uang pertanggungan yang semestinya merupakan hak milik tertanggung. Karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 251 KUHD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sebagai informasi, Sopan menjadi ahli waris/penerima manfaat dari pemegang polis Latima Laia. Latima Laia merupakan pemegang polis yang meninggal pada 21 Juli 2022. Pada 15 Agustus 2022, Pemohon mengajukan klaim kepada perusahaan asuransi atas nilai manfaat yang semestinya diterima Rp 735 juta.

Namun, berdasarkan surat perusahaan asuransi tertanggal 29 Desember 2022, perihal pembayaran klaim meninggal, permohonan klaim atas nilai manfaat ditolak secara sepihak dan mengambil kebijakan sepihak dengan hanya membayar Rp 224,5 juta. Alasannya, berdasarkan hasil seleksi risiko (underwriting) ulang, perusahaan asuransi menemukan data atau rekam medis pemegang polis yang belum disampaikan pada saat pengisian formulir polis.

Padahal, menurut Pemohon, tertanggung telah mengisi formulir sesuai yang dipersyaratkan. Sedangkan, permintaan dari tertanggung agar pengisian formulir pemulihan didampingi agen sebagai bentuk itikad baik (utmost good faith) untuk menghindari terjadinya kesalahan pun tidak digubris pihak asuransi.

Kasus tersebut berawal dari tertanggung/pemegang polis menaikan premi dan disetujui perusahaan asuransi dari Rp 500 ribu menjadi Rp 2 juta pada 2018. Kenaikan premi ini berdampak pada kenaikan nilai klaim atau manfaat yang diterima Pemohon sebesar Rp 735 juta apabila tertanggung/pemegang polis mengalami risiko.

Pada Februari 2020, perusahaan asuransi menyetujui permohonan cuti premi (premium holiday) yang diajukan tertanggung. Lalu pada Februari 2022, tertanggung mengajukan pemulihan polis pascacuti premi dengan terlebih dahulu memenuhi persyaratan yang ditentukan perusahaan asuransi, di antaranya mengisi formulir pemberhentian cuti premi, membayar premi tertunggak akibat cuti premi selama dua tahun sebesar Rp 48 juta, serta melakukan pemeriksaan kesehatan (medical check up) terhadap tertanggung/pemegang polis di Klinik Gloria Teluk Dalam yang ditunjuk Prudential pada 17 Maret 2022.

Pada 30 Maret 2022, perusahaan asuransi menyatakan polis telah aktif. Seluruh persyaratan dan ketentuan yang ditetapkan Prudential dalam rangka pemulihan polis merupakan proses uji kelayakan dan seleksi risiko (underwriting) sehingga sampai pada kesimpulan polis tertanggung diaktifkan kembali dengan nilai manfaat sebagaimana tertuang dalam polis yakni Rp 735 juta.

 

Nasihat Hakim

Dalam nasihatnya, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah memberikan catatan bahwa Pemohon belum menjelaskan secara rinci alasan kerugian konstitusional yang dialami. Dia mengatakan, Mahkamah tidak memeriksa dan mengadili kasus konkret, melainkan menguji norma Undang-Undang terhadap UUD 1945.

“Saya belum menemukan dalam permohonan Saudara ini kaitannya dengan isu konstitusionalitas normanya,” tutur Guntur.

Sementara, Hakim Konstitusi Anwar Usman menyoroti petitum Pemohon. Dia menuturkan, apabila Pasal 251 KUHD dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tanpa pengajuan alternatif norma oleh Pemohon, maka akan terjadi kekosongan hukum.

 

Pemohon Meninggal Dunia

Sebelum menutup persidangan Ketua Panel Hakim Ridwan Mansyur mengonfirmasi kepada kuasa hukum Pemohon yang menyatakan Pemohon sudah meninggal dunia. Kuasa hukum Pemohon, Rendi Vlantino Rumapea menyebut Pemohon meninggal dunia pada Desember 2023 lalu.

“Dengan meninggalnya Prinsipal, tentunya Saudara harus mempunyai pendirian akan meneruskan permohonan ini atau lainnya. Silakan nanti Saudara sampaikan pada persidangan berikutnya, karena nanti Mahkamah Konstitusi yang akan bersikap setelah Saudara sampaikan,” kata Ridwan sembari menginformasikan, Pemohon atau kuasanya memiliki waktu 14 hari untuk mengajukan perbaikan permohonan.

 

Penulis: Mimi Kartika.

Editor: Nur R.

Humas: Andhini SF.

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi