Warga Negara Uji UU Pemilu Pertegas Alasan yang Berbeda Soal Batas Usia Capres-Cawapres

JAKARTA, HUMAS MKRI – Yuliantoro yang menjadi Pemohon Perkara Nomor 159/PUU-XXI/2023 kembali hadir di Ruang Sidang Panel MK menyampaikan perbaikan permohonannya yang menyoal konstitusionalitas Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sebagaimana dimaknai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sidang kedua terhadap permohonan ini dilaksanakan di MK pada Selasa (16/1/2024) oleh Panel Hakim yang terdiri atas Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.

Yuliantoro menyebutkan beberapa hal, di antara dasar pengujian yang berbeda dengan Pemohon lainnya, yakni Pasal 1 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), 18 ayat 4, 18B ayat (1) UUD 1945 yang belum digunakan oleh Pemohon lainnya sehingga tidak nebis en idem. Berikutnya, Pemohon juga dalam permohonan perbaikan ini menyebutkan bahwa permohonannya bukanlah upaya hukum atas Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Lalu, Pemohon juga telah memberikan argumentasi tentang kedudukan hukum dirinya.

“Pada permohonan ini telah pula dibuatkan penjelasan mengenai Gubernur DIY bukan jabatan penunjukan. Selanjutnya ada pula pengakuan terhadap Pemda yang bersifat khusus dan istimewa, yakni DIY. Dan ada pula uraian yang menerangkan mengenai pengisian Gubernur DIY berusia di bawah 40 tahun  pada masa Hamengkubuwana IX pada saat usia 38 tahun serta ada pula bantahan Pemohon terhadap Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023,” jelas Yuliantoro.

Baca juga: Dosen Fakultas Hukum Perjelas Alasan Uji Konstitusionalitas Batas Usia Minimal Capres-Cawapres

Pada Sidang Pendahuluan pada Selasa (19/12/2023) lalu, Pemohon menilai UU Pemilu yag diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 18B ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Baginya, pembentukan norma “pemilihan kepala daerah” yang ada pada pasal yang diujikan tersebut menimbulkan problematik hukum. Sebab, tidak ada undang-undang yang secara tegas mengatur pemilihan kepala daerah. Satu-satunya norma yang mengatur hanya UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Akibatnya pasal yang telah dimaknai tersebut mengandung unsur hukum yang tidak jelas sehingga perlu ada penegasan norma hukum yang benar.

Oleh karena itu, Pemohon dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaknai dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun, kecuali apabila undang-undang menentukan lain”. Selain itu, Yuliantoro meminta MK agar mencabut Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan dinyatakan tidak berlaku dengan segala akibat hukumnya. (*)

Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha

Source: Laman Mahkamah Konstitusi