Hakim Konstitusi Harus Menginternalisasi Peran sebagai Penjaga Konstitusi
JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perbaikan atas uji Pasal 169 huruf q UU MK terkait ketentuan persyaratan usia minimal untuk menjadi calon presiden dan/atau wakil presiden (capres-cawapres) yang telah dimaknai dari Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 kembali digelar Mahkamah Konstitusi. Sidang panel dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan Perkara Nomor 151/PUU-XXI/2023 ini dipimpin Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh didampingi Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, pada Kamis (21/12/2023).
Permohonan pengujian materiil UU MK ini diajukan oleh Sugeng Nugroho, Teguh Prihandoko dan Azeem Marhendra Amedi. Melalui kuasa hukumnya Fredrik Jacob Pinakunary menyebutkan beberapa hal yang telah diperbaiki, di antaranya dengan perbaikan pada poin kedudukan hukum para Pemohon.
Para Pemohon juga menambahkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
“Bahwa menurut hemat kami Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi perlu dilakukan perubahan tetapi dasarnya kami tambahkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945,” urai Fredrik
Lainnya, Pemohon memperkuat dengan putusan MKMK tentang pemberhentian ketua MK. “Tambahan kami adalah hal ini kemudian diperkuat dengan suatu putusan yang telah membuktikan Hakim Konstitusi Anwar Usman secara sah dan meyakinkan bersalah dalam melakukan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi berdasarkan Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 2/MKMK/L./2023,” sambung Fredrik dalam Ruang Sidang Panel di Gedung 1 MK.
Fredrik juga menegaskan bahwa sejatinya hakim-hakim konstitusi harus menginternalisasi peran mereka sebagai the guardian of constitution, sebagai salah satu komponen penting dalam pemisahan dan pembatasan kekuasaan negara berdasarkan prinsip checks and balances, maka seharusnya para hakim konstitusi memahami kapan harus membatasi diri (judicial restraint) untuk membiarkan mempertanyaan politik (political question) dijawab melalui mekanisme politik. Seperti bagaimana Mahkamah telah mengembalikan ketentuan tersebut pada pembentuk undang-undang Karena sifat kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari ketentuan yang diujikan dalam Putusan Nomor 90/PUU-XX1/2023, maka sudah tepat untuk mengembalikan pertanyaan politik tersebut kepada mekanisme politik agar dapat ditentukan berdasarkan kehendak rakyat.
Baca juga:
UU MK Digugat Usai Putusan Ketentuan Syarat Usia Capres-Cawapres
Sebagai tambahan informasi, permohonan Perkara Nomor 151/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Aktivis Nelayan Pembela Konstitusi, Sugeng Nugroho; Aktivis Sosial Kemasyarakatan Penjaga Konstitusi, Teguh Prihandoko; serta Mahasiswa Magister Hukum, Azeem Marhendra. Para Pemohon memberikan kuasa kepada para Advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Pejuang Penegak Konstitusi (Petisi). Para Pemohon menguji materiil Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Permohonan ini diajukan sebagai buntut dari Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang telah memaknai Pasal 169 huruf q UU MK terkait ketentuan persyaratan usia minimal untuk menjadi calon presiden dan/atau wakil presiden (capres-cawapres).
“Permohonan kami ini berangkat dari tentunya Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi diskusi publik akhir-akhir ini dan tergerak dari putusan tersebut, kami dalam hal ini para Pemohon sebagai warga negara mengambil sikap dan keputusan untuk mengajukan permohonan,” ujar kuasa hukum Pemohon, Fredrik Jacob Pinakunary dalam persidangan di pemeriksaan pendahuluan di MK, Rabu (06/12/2023)
Dalam permohonannya, para Pemohon menilai, materi muatan Pasal 10 Ayat 1 dan Pasal 28 Ayat 1 UU MK secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Para Pemohon menilai memiliki kepentingan untuk mengawasi jalannya proses persidangan serta berhak atas putusan yang seadil-adilnya secara hukum dan bebas dari masalah yang mengancam independensi, imparsialitas, dan integritas hakim konstitusi.
Pasal 10 Ayat 1 UU MK menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945; b. memutus sengketa kewenangan Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. memutus pembubaran partai politik; dan d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Pasal 28 Ayat 1 UU MK menyatakan, “Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.”
Menurut para Pemohon, kedua ketentuan tersebut bersifat ambigu, multitafsir, dan telah terbukti membuat MK tidak imparsial, tidak netral, dan jelas memihak, sebagaimana diputus dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Hal ini berkaitan dengan keikutsertaan Hakim Konstitusi Anwar Usman yang saat itu menjabat sebagai Ketua MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara mengenai persyaratan usia minimal menjadi capres dan cawapres. Padahal Anwar Usman memiliki benturan kepentingan karena dia seorang paman dari putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka. Setelah Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu, Gibran mencalonkan diri sebagai cawapres mendampingi capres Prabowo Subianto.
Para Pemohon mengatakan, apabila Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terbukti dihasilkan dengan diwarnai pelanggaran etik, maka terdapat kecacatan formil dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Jika dibiarkan berkekuatan hukum tetap, berlaku umum (erga omnes), dan dieksekusi, maka MK melanggengkan praktik yang mengingkari konstitusi.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 10 Ayat 1 UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai “…sepanjang tidak terdapat pelanggaran etik dan/atau kepatutan yang ditetapkan atau diputuskan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau lembaga apapun yang diberikan wewenang oleh peraturan perundangan-undangan.”
Selain itu, para Pemohon meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 28 Ayat 1 UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai “…dan hakim konstitusi yang mengadili dan memutus dalam sidang pleno sebagaimana dimaksud secara mutlak tidak memiliki benturan kepentingan, termasuk potensi benturan kepentingan dengan perkara yang diperiksa, diadili, dan diputuskan.”
Kemudian, para Pemohon juga meminta MK menyatakan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau setidaknya menyatakan tidak dapat dilaksanakan atau non-executable.
Penulis: Fauzan F.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi