Aturan Mengenai Tugas KPU dan Bawaslu dalam UU Pemilu Konstitusional

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi menolak permohonan 12 orang mahasiswa terkait  uji Pasal 12 huruf l dan Penjelasannya, Pasal 93 huruf m dan Penjelasannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Kedua belas pemohon dimaksud yakni Josua A.F. Silaen, Rolis Barson Sembiring, Sheehan Ghazwa, Bima Saputra, Michael Purnomo, Marvella Nursyah Putri, Ahmad Ghiffaru Rizqul Haqq, Muhammad Nugroho Suryo Utomo, Fathor Rahman, Agusta Richi Fugarsyah, Bagus Septyan Fajar, dan Nobval Fahrizal Gunawan.

“Menolak permohonan para Pemohon untuk semuanya,” demikian disampaikan oleh Ketua MK Suhartoyo membacakan Putusan Nomor 134/PUU-XX/2023 tersebut dalam sidang pengucapan putusan dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.

Sebelumnya, para pemohon mendalilkan  ketentuan Pasal 12 huruf l dan Penjelasannya, Pasal 93 huruf m dan Penjelasannya UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1), ayat (5), dan ayat (6); Pasal 28D ayat (1); Pasal 28F; dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.  Menurut para Pemohon sebagai penyelenggara pemilihan umum termasuk pemilu calon presiden dan wakil presiden, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) memiliki peran strategis dalam menentukan masa depan bangsa Indonesia. Oleh karenanya, KPU dan Bawaslu perlu diberikan kewenangan untuk melakukan penelitian khusus tentang rekam jejak pasangan calon (presiden/wakil presiden) yang telah terdaftar dan terverifikasi, meliputi rekam medis kesehatan fisik, mental dan psikologi, rekam jejak tindak pidana korupsi, pencucian uang, pelanggaran HAM, penculikan aktivis, penghilangan orang secara paksa, dan lainnya. Hasil dari penelitian khusus tersebut diumumkan kepada masyarakat selambat-lambatnya pada hari terakhir masa kampanye pasangan calon.

Tugas KPU dan Bawaslu

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan, secara struktur, norma Pasal 12 huruf I dan Pasal 93 huruf m UU Pemilu dirumuskan sebagai ketentuan yang bertujuan membuka kemungkinan adanya penambahan tugas yang dapat diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan perkataan lain, Pasal 12 huruf I dan Pasal 93 huruf m UU Pemilu secara sengaja (intentionally) dirumuskan secara terbuka, agar tugas KPU dan Bawaslu tetap dinamis sehingga dapat mengikuti kebutuhan serta perkembangan yang terjadi.

“Hal ini juga konsisten dengan ketentuan yang mengatur kewenangan dan kewajiban KPU (vide Pasal 13 huruf I dan Pasal 14 huruf n UU 7/2017) serta kewenangan dan kewajiban Bawaslu. Namun demikian, penambahan tugas KPU dan Bawaslu tersebut, tidak semestinya dilakukan dengan mengubah atau menambahkan norma pada Pasal 12 huruf I dan Pasal 93 huruf m UU 7/2017 sebagaimana dimohonkan oleh para Pemohon, karena hal tersebut selain berpotensi menimbulkan ketidakjelasan norma, juga berpotensi hilangnya pijakan hukum untuk tugas-tugas lainnya dari KPU maupun Bawaslu yang bersifat dinamis dimaksud,” ujar Hakim Konstitusi Guntur Hamzah saat membacakan pertimbangan hukum.

Selain itu, sambung Guntur, mengubah rumusan Pasal 12 huruf I dan Pasal 93 huruf m UU Pemilu sebagaimana dimohonkan pengujian oleh para Pemohon justru akan mempersempit makna dari norma pasal a quo, dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Terlebih lagi, pemaknaan yang dimintakan oleh para Pemohon juga menimbulkan tumpang tindih tugas antara KPU dan Bawaslu, karena para Pemohon mengharapkan KPU dan Bawaslu melaksanakan tugas yang sama dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Pemaknaan ini justru menimbulkan pertentangan norma di dalam undang-undang. karena KPU dan Bawaslu meskipun sama-sama sebagai lembaga penyelenggara Pemilu (Pasal 1 angka 7 UU 7/2017), namun memiliki tugas dan fungsi yang berbeda. KPU sebagai penyelenggara pemilu bertugas untuk melaksanakan pemilu, sedangkan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemilu (vide Pasal 1 angka 8 dan Pasal 1 angka 17 UU 7/2017).

Tidak Terdapat Alasan Konstitusional

Dengan memperhatikan ruang lingkup, tujuan dan struktur norma dalam Pasal a quo yang dimintakan pengujian oleh para Pemohon, Guntur menerangkan bahwa menurut Mahkamah, tidak terdapat alasan konstitusional yang dapat menjadi alasan untuk mengubah atau memberikan makna baru selain sebagaimana rumusan norma Pasal 12 huruf I dan Pasal 93 huruf m UU Pemilu, yaitu “melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Andaipun guna memberikan bahan pertimbangan kepada pemilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden berupa data/informasi yang sahih dan resmi agar pemilih lebih paham dalam menggunakan hak pilihnya, juga tidak tepat karena persoalan sesungguhnya bukan terletak pada persoalan norma a quo, melainkan lebih pada aspek pelaksanaan atau implementasi terhadap ketentuan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang calon presiden atau wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 169 UU 7/2017, bukan pengaturan yang terkait dengan tugas KPU dan/atau Bawaslu sebagaimana norma yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon.

“Sehingga, berdasarkan rangkaian pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah tidak relevan untuk menyatakan bahwa rumusan Pasal 12 huruf I dan Pasal 93 huruf m UU 7/2017 telah melanggar asas pemilihan umum, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Artinya, norma a quo tidak bertentangan dengan asas-asas pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945,” terangnya.

Rekam Jejak Paslon

Guntur melanjutkan, persoalan yang didalilkan oleh para Pemohon adalah berkaitan dengan rekam jejak pasangan calon yang telah terdaftar dan terverifikasi di KPU, yaitu rekam jejak medis (kesehatan fisik, mental dan psikologis), rekam jejak tindak pidana korupsi, rekam jejak tindak pidana pencucian uang, rekam jejak pelanggaran HAM, rekam jejak penculikan aktivis, rekam jejak penghilangan orang secara paksa, dan rekam jejak tindak pidana berat lainnya serta rekam jejak karir, pekerjaan dan prestasi yang dimiliki.

Menurut MK, meskipun rumusan dalam petitum permohonan, tidak jelas "pasangan calon" apakah yang dimaksud oleh para Pemohon, namun berdasarkan uraian dalam alasan permohonan, Mahkamah dapat memahami bahwa yang dimaksud oleh para Pemohon adalah pasangan calon presiden dan wakil presiden. Jikalau hal tersebut benar adanya, maka dalam hal ini Mahkamah tidak menafikan pentingnya calon presiden dan calon wakil presiden yang akan berkontestasi dalam pemilihan umum selain telah memenuhi semua persyaratan sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan peraturan perundang- undangan, juga bukan merupakan calon presiden dan calon wakil presiden yang memiliki rekam jejak yang buruk atau mengkhawatirkan berkenaan dengan kesehatan fisik, mental, psikologi, tindak pidana, pelanggaran HAM, serta rekam jejak karir, namun demikian bukan berarti tugas penelitian dan pengumuman rekam Jejak tersebut dapat dirumuskan sebagai tugas KPU dan Bawaslu dalam norma Pasal 12 huruf I dan Pasal 93 huruf m UU 7/2017 sebagaimana dimohonkan pengujian oleh para Pemohon.

“Berkenaan dengan hal tersebut, jika para Pemohon mempersoalkan adanya potensi terpilihnya presiden dan wakil presiden yang memiliki rekam jejak yang buruk, maka hal tersebut merupakan persoalan yang berkaitan dengan norma pasal yang mengatur mengenai persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden, yang dinyatakan dalam Pasal 6 UUD 1945 serta pasal-pasal dalam undang-undang yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Apabila dicermati, persyaratan yang dikaitkan para Pemohon dengan rekam jejak sebagaimana didalikan di dalam permohonan pada pokoknya telah tercakup di dalam pengaturan syarat-syarat tersebut. Berkenaan dengan beberapa hal yang terkait dengan penambahan syarat calon presiden dan calon wakil presiden, Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 102/PUU-XXI/2023, yang diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum pada tanggal 23 Oktober 2023,”ujarnya.

Dengan demikian, sambung Guntur, berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 169 UU Pemilu tersebut telah dapat memberikan gambaran secara umum mengenai bagaimana calon presiden dan calon wakil presiden yang diharapkan terpilih menjadi presiden dan wakil presiden, dan sebaliknya calon presiden dan calon wakil presiden yang seperti apa yang dihindari atau tidak diperkenankan untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, apabila rumusan dalam petitum permohonan para Pemohon diterapkan atau dirumuskan secara eksplisit. quod non, maka hal tersebut telah terangkum dalam Pasal 169 UU Pemilu. Oleh karena itu, tidak diaturnya mengenai tugas KPU dan Bawaslu dalam meneliti dan mengumumkan rekam jejak pasangan calon Presiden dan wakil Presiden pada norma Pasal 12 huruf I dan Pasal 93 huruf m UU Pemilu secara eksplisit tidak dapat dikatakan telah melanggar hak konstitusional warga negara untuk memperoleh informasi dalam mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta hak untuk memperoleh informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945. Dengan demikian dalil para Pemohon bahwa norma Pasal 12 huruf I dan Pasal 93 huruf m UU Pemilu bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 28F UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, meskipun tidak ada persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 12 huruf I dan Pasal 93 huruf m UU Pemilu, namun Mahkamah memahami makna pentingnya pemilihan umum diikuti oleh calon Presiden dan calon wakil Presiden yang memiliki rekam jejak yang baik. Persoalan yang dikemukakan oleh Pemohon berkenaan dengan rekam jejak Presiden dan wakil Presiden, baik mengenai kondisi fisik dan psikologis, isu pelanggaran HAM berat, korupsi dan isu pelanggaran pidana berat lainnya bukanlah ihwal atau persoalan yang tidak penting. Jabatan Presiden dan wakil Presiden merupakan jabatan strategis yang akan memimpin dalam mengarahkan bangsa dan negara untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, penting bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk diketahui rekam jejaknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 huruf d, e, j, dan p UU 7/2017 sepanjang bukan merupakan informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sehingga, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata ketentuan Pasal 12 huruf I dan Pasal 93 huruf m UU 7/2017 tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945 sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Dengan demikian, dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. (*)

Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha

Source: Laman Mahkamah Konstitusi