Mencari Celah Jadi Anggota DPR Lewat Jalur Perseorangan
![](https://mkri.id/public/content/berita/original/berita_1703148335_596e58544e4865323428.jpg)
JAKARTA, HUMAS MKRI – Seorang advokat bernama M. Robby Candra menguji secara materiil aturan mengenai syarat menjadi anggota DPR dan DPRD dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Ia menguji Pasal 1 angka 27 juncto Pasal 240 ayat (1) huruf n UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Atas adanya norma ini, pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan sebab tidak bisa menjadi calon anggota DPR maupun DPRD karena tidak memenuhi persyaratan sebagai anggota partai politik peserta pemilu.
“Saya menganggap hak dan konstitusional saya dirugikan dengan berlakunya Undang-Undang tersebut yang mana saya orang perseorangan tidak dapat mengajukan diri sebagai calon anggota DPR atau DPRD,” ujar Robby dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 167/PUU-XXI/2023 pada Kamis, (21/12/2023).
Pasal 1 angka 27 UU Pemilu tersebut berbunyi, “Peserta Pemilu adalah partai politik untuk Pemilu DPR, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk Pemilu anggota DPD, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk pemilu anggota DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk Pemilu Prisiden dan Wakil Presiden.” Kemudian, Pasal 240 ayat (1) berbunyi, “Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: huruf n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu.”
Menurut Pemohon, persyaratan menjadi anggota partai politik peserta pemilu untuk pencalonan anggota DPR maupun DPRD merupakan bentuk diskriminasi terhadap individu atau perorangan warga negara Indonesia. Karena itu, Pemohon mengatakan, norma tersebut bertentangan dengan hak konstitusional yang diatur Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 27 juncto Pasal 240 ayat (1) huruf n UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Kekosongan Norma
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan, apabila permohonan dikabulkan dengan bunyi petitum Pemohon demikian, akan terjadi kekosongan norma terkait definisi peserta pemilu. Untuk itu, dia meminta Pemohon mencermati uraian petitum dengan memperkuat juga argumentasi dalil-dalil permohonan.
“Jadi kekosongan norma, siapa peserta pemilu, mungkin kalau pun agak ini ya dimaknai atau apa. Tidak ada di petitumnya apa syarat lain, mohon itu diperhatikan,” ucap Wahid.
Sementara itu, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah meminta Pemohon mempelajari dan memahami putusan MK sebelumnya atas norma yang sama, salah satunya Putusan Nomor 67/PUU-XVI/2018. Hal ini perlu dicermati agar permohonan Pemohon tidak dikategorikan nebis in idem atau pasal-pasal yang pernah diuji di MK tidak dapat kembali diuji kecuali jika terdapat dasar atau alasan yang berbeda.
Selain itu, Wakil Ketua MK Saldi Isra sekaligus ketua majelis sidang panel perkara ini mengingatkan Pemohon atas adanya Pasal 22E ayat UUD 1945. Pasal ini menyatakan, peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai politik.
“Kalau anda suruh batalkan itu tidak ada sangkutannya ke konstitusi nanti,” kata Saldi. Sebelum menutup persidangan, Saldi menambahkan, perbaikan permohonan paling lambat diterima MK pada 3 Januari 2024 pukul 09.00 WIB.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim
Source: Laman Mahkamah Konstitusi