Ejaan Lama Masih Tercantum, UU Bahasa Diuji

JAKARTA, HUMAS MKRI – Pensiunan ASN Kementerian Agama Kabupaten Bojonegoro atas nama Artiningkun mengajukan uji Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon menguji Pasal 25 ayat (1) UU Bahasa yang mengatur mengenai Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara Indonesia.

Sidang perdana Perkara Nomor 161/PUU-XXI/2023 dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah ini digelar pada Selasa (19/12/2023).  Artiningkun yang menghadiri persidangan secara daring dari Bojonegoro ini menyebutkan pokok-pokok permohonan bahwa pasal a quo yang menyatakan, “Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa,” dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (3), Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

Lebih jelas menurut Pemohon, pasal tersebut telah mendeskreditkan atau melemahkan kewibawaan bangsa Indonesia—dalam hal pemaknaan bahasa Indonesia. Sebab dalam pandangan Pemohon, bahasa Indonesia yang dimaksudkan pada pasal tersebut masih berpedoman pada Ejaan Van Ophuijsen yang digunakan oleh warga negara Belanda atau disebut juga bahasa Melayu. Sehingga norma tersebut menjadi undang-undang jadi-jadian yang bertentangan dengan UUD 1945. Karenanya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan norma tersebut bertentangan dengan UUD 1945.

Kerugian Konstitusional Pemohon

Atas permohonan ini, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dalam nasihat Majelis Sidang Panel memberikan catatan perihal sistematika permohonan yang diajukan belum mengikuti ketentuan yang terdapat pada PMK 1/2021. Berikutnya, Guntur juga meminta Pemohon untuk memperjelas kerugian konstitusional yang disebabkan oleh bahasa Indonesia yang bersumber dari Ikrar Sumpah Pemuda 1928 yang menggunakan ejaan lama.

“Berarti Pemohon menghendaki hal ini mendeskriditkan bangsa Indonesia dengan mengorek luka lama bangsa yang pernah dijajah? Jadi, benarnya ingin seperti apa? Tidak menggunakan ejaan lama dan harusnya menggunakan ejaan baru,” tanya Guntur.

Sementara Hakim Konstitusi Daniel meminta Pemohon menambahkan sumber rujukan dalam mendalilkan ada tidaknya pasal a quo dengan uraian sejarah dari pembentukan bahasa Indonesia. Kemudian, Pemohon juga diminta untuk membuat petitum yang sesuai dengan ketentuan hukum acara MK. Sedangkan Hakim Konstitusi Arief dalam nasihat hakim mengatakan agar Pemohon memperjelas dan mempertegas norma yang diujikan hanya pada frasa ‘bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928’.

“Artinya ini Pemohon harus fokus pada frasanya saja, yang dinilai bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan merugikan hak konstitusionalnya dan cantumkan usulan Pemohon seperti apa saja dan mohon diuraikan,” saran Arief.

Pada penghujung persidangan, Hakim Konstitusi Arief mengatakan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan sebagaimana nasihat para hakim panel. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 2 Januari 2024 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (*)

Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina

Source: Laman Mahkamah Konstitusi