Pemohon Tak Perbaiki Permohonan Uji Usia Capres-Cawapres

JAKARTA, HUMAS MKRI – Pemohon Perkara Nomor 146/PUU-XXI/2023 mengenai pengujian materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sebagaimana telah dimaknai MK pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, tidak menghadiri sidang pada Rabu (13/12/2023). Sedianya, sidang yang digelar di Ruang Panel Lt 4 Gedung MK hari ini mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan. Namun hingga sidang digelar, Pemohon maupun kuasanya tidak hadir dalam persidangan. Pemohon maupun kuasanya juga tidak melayangkan berkas perbaikan permohonan.

“Sesuai dengan undangan, maka sidang ini tetap kita lanjutkan tanpa kehadiran dari Pemohon. Dalam catatan Hakim Panel, Pemohon atau kuasanya juga belum membuat perbaikan permohonan. Jadi, kita menggunakan permohonan awal,” ujar Ketua Panel Hakim Konstitusi Arief Hidayat, didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah dalam persidangan.

Arief mengatakan akan melaporkan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Seluruh rangkaian proses akan dilaporkan ke RPH, mulai dari sidang pemeriksaan awal sampai sidang perbaikan permohonan yang tidak dihadiri Pemohon dan tidak ada perbaikan permohonan.


Baca juga:

Syarat Usia Capres-Cawapres Digugat Lagi, Concurring Hakim Disoroti


Sebagai tambahan informasi, persyaratan usia untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres), kembali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan kali ini diajukan oleh Heri Purwanto dan Bambang Barata Aji. Para Pemohon menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sebagaimana telah dimaknai MK pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang berkenaan dengan persyaratan batas usia capres-cawapres.

Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 146/PUU-XXI/2023 ini dilaksanakan di MK pada Rabu (29/11/2023). Para Pemohon adalah warga negara Indonesia (WNI) yang berstatus sebagai wiraswasta. Keduanya menyinggung alasan berbeda (concurring opinion) dua hakim pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, yakni Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

“Pendapat concurring itu apabila direlasikan dengan yang namanya amar, terjadi ketidaksinkronan. Idealnya pendapat kami di permohonan kami, sesuatu yang dikategorikan concurring oleh Profesor Enny adalah sebenarnya dapat dikategorikan dissenting,” ujar kuasa hukum Pemohon, Mursid Mudiantoro dalam persidangan.

Mursid menjelaskan, terdapat perbedaan yang prinsip antara pertimbangan concurring dengan amar putusan. Jika pertimbangan concurring tetap menekankan syarat minimal 40 tahun atau pernah menjadi atau sedang menjadi Gubernur. Sedangkan dalam amar, pernah atau sedang menjabat jabatan yang akibat keterpilihan dalam Pemilu atau Pilkada.

Menurut para Pemohon, dalam pendapat concurring secara definitif telah melimitasi suatu syarat yang diarahkan kepada entitas gubernur. Sedangkan dalam amar meluas pada isu pemilu legislatif dan eksekutif dalam hal ini pilkada. Apabila dihubungkan dengan isu presidential threshold, maka kegunaan atas pembentukan norma dalam putusan a quo memperlihatkan keberpihakan atas putusan yang seharusnya bersifat erga omnes menjadi putusan yang bersifat individual dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada subjek hukum tertentu.

Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 169 Huruf q UU Pemilu sebagaimana yang ditafsirkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sepanjang “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun," bertentangan dengan UUD 1945. Kemudian meminta MK menyatakan putusan a quo tidak bersifat eksekutorial.

 

Penulis: Mimi Kartika.

Editor: Nur R.

Humas: Andhini SF.

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi