Uji Konstitusionalitas Batas Usia Hakim Konstitusi
![](https://mkri.id/public/content/berita/original/berita_1701999793_c0f3fa6f59a942d65975.jpg)
JAKARTA, HUMAS MKRI – Rega Felix yang berprofesi sebagai advokat menguji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Tiga pasal diuji dalam dua perkara berbeda, yakni Perkara Nomor 152/PUU-XXI/2023 dan 153/PUU-XXI/2023. Tiga pasal tersebut, yaitu Pasal Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 23 ayat (1) huruf d, serta Pasal 54 UU MK. Sidang perdana dua perkara tersebut digelar pada Kamis (7/12/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Untuk perkara 153/PUU-XXI/2023, Pemohon menilai bahwa dirinya memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi hakim konstitusi sebagaimana yang telah dilindungi oleh Pasal 27 Ayat (3) UUD 1945, Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3) UUD 1945, dan Pasal 24C Ayat (5) UUD 1945 karena Pemohon merupakan alumni fakultas hukum khususnya jurusan HTN yang berprofesi sebagai advokat jadi linear dengan syarat hakim konstitusi. Namun, karena syarat usia minimum hakim konstitusi sering diubah-ubah menjadi semakin tinggi—saat ini 55 tahun, tanpa dasar rasionalitas yang jelas menyebabkan kerugian konstitusional Pemohon.
“Padahal dalam Undang-Undang MK telah diatur minimum degree of maturity and experiences, yaitu gelar doktor dan pengalaman minimal 15 tahun kerja, tetapi mengapa muncul angka 55 tahun tanpa ada rasionalitas dengan syarat lainnya? Harapannya adalah adanya alternatif norma yang memungkinkan Pemohon untuk menjadi hakim konstitusi ketika telah memenuhi minimum degree of maturity and experiences,” ujar Rega.
Selain itu, sambungnya, jika ternyata secara faktual pernah ada hakim konstitusi yang berusia di bawah 55 tahun. Pembentuk UU harus dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan terhadap hal tersebut. Jika alasannya karena mengikuti dinamika usia negarawan hanya muncul ketika berusia 55 tahun, maka harus ada bukti ketika terdapat hakim konstitusi yang berusia di bawah 55 tahun ternyata tidak bersifat negarawan. Dengan demikian, fakta hakim konstitusi yang pernah berusia 47 tahun dan 42 tahun harus dianggap bukan sebagai negarawan dan tidak berintegritas.
“Jika faktanya hakim konstitusi yang berusia 47 tahun dan 42 tahun menghasilkan putusan landmark yang menjadi preseden, maka menjadi permasalahan moral mengapa ada perlakuan yang berbeda antara generasi terdahulu dengan generasi sekarang sehingga pembentuk UU meyakini saat ini negarawan hanya muncul di usia 55 tahun. Pembentuk UU harus membuktikan bahwa semenjak UU No. 7 Tahun 2020 sudah tidak dimungkinkan kembali lahir hakim konstitusi yang memiliki integritas sebagai negarawan pada usia 42 tahun. Jika pembentuk UU memiliki keyakinan seperti itu akan menimbulkan permasalahan moral serius. Jika pembentuk UU tidak dapat menjelaskan hal ini, maka beralasan hukum untuk menyatakan kebijakan penetapan usia minimal hakim konstitusi 55 tahun menimbulkan permasalahan moral yang intolerable,” tegasnya.
Menurut Rega, setelah dibuktikan hal tersebut, Pemohon berupaya memberikan rumusan alternatif norma dengan mengacu kepada Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 yang salah satunya mensyaratkan hakim konstitusi adalah negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Syarat ini tidak ada padanannya pada jabatan apapun lainnya, sehingga Mahkamah dalam hal ini justru mengejewantahkan norma Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 secara lebih jelas ke dalam norma UU. Ketika terbukti adanya ingkaran berupa fakta hakim konstitusi berusia di bawah 55 tahun yang terbukti memiliki integritas dan adanya ingkaran berupa acuan faktor rasional yang diberikan UU yang memungkinkan terpenuhinya syarat minimum degree of maturity and experiences sebelum usia 55 tahun.
“Maka, dapat dikatakan bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf d UU MK telah melanggar moralitas dan rasionalitas yang intolerable. Oleh karena itu, Mahkamah dapat memberikan alternatif syarat norma lainnya sesuai dengan rumusan petitum pemohon yang akan dibacakan nanti. Selain itu, jika hal ini dikabulkan akan berdampak kepada perbedaan masa jabatan antara hakim konstitusi yang diangkat pada usia 55 tahun dengan di bawah 55 tahun. Oleh karena itu, Pemohon juga meminta agar Pasal 23 ayat (1) huruf d UU MK yang sempat dihapuskan sebelumnya diaktifkan kembali menjadi ‘telah berakhir masa jabatannya setelah menjalankan keseluruhan masa tugas selama 15 (lima belas) tahun’,” tegas Rega.
Uji Aturan Meminta Keterangan
Sedangkan untuk Perkara Nomor 152/PUU-XXI/2023, Rega menguji Pasal 54 UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden.” Menurutnya, ia sering beracara di MK, namun tidak mengetahui makna kata “dapat” dalam Pasal 54 UU MK. Hal tersebut karena seringkali MK mengesampingkan Pasal 54 UU MK hanya karena permohonan Pemohon dianggap jelas. Padahal, Pemohon memerlukan penjelasan dari pembentuk UU terhadap perkara yang Pemohon ajukan dikarenakan pembentuk UU tidak menanggapi Pemohon ketika Pemohon meminta jawaban dari Pembentuk UU. Tidak adanya parameter yang jelas dalam memaknai kata “dapat” dalam Pasal 54 UU MK menyebabkan Pemohon mengalami kerugian konstitusional.
“Sesungguhnya permohonan ini juga berkaitan dengan kasus aktual Pemohon, hanya saja Pemohon menjadi berandai-andai jika jadi hakim konstitusi apa sebenarnya parameter baku suatu perkara diterapkan Pasal 54 UU MK. Selama ini tidak ada aturan bakunya, dan tidak mungkin juga hanya tebak-tebakan saja. Karena itulah Pemohon berusaha untuk merumuskannya dalam permohonan ini,” terang Rega dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih tersebut.
Rega juga menjelaskan Pemohon sedang mengalami kasus aktual yang sedang diujikan di MK dengan sifat kerugian konstitusional yang aktual. Pemohon sudah meminta bantuan jawaban dari pembentuk UU terhadap permasalahan Pemohon, tetapi tidak/belum digubris oleh Pembentuk UU—dalam hal ini DPR. Padahal DPR adalah wakil rakyat yang seharusnya menjawab pengaduan/aspirasi/persoalan yang dihadapi rakyatnya secara khusus yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Akibat dari tidak jelasnya kata “dapat” dalam Pasal 54 UU MK menjadikan perkara Pemohon berpotensi diputus tanpa proses hukum yang fair, sehingga kasus Pemohon akan terus menggantung dan pembentuk UU terbebas dari tanggung jawab untuk memberikan keterangan. Dengan demikian, sifat kerugian konstitusional Pemohon berdasarkan penalaran yang wajar adalah potensial.
“Sesuatu bersifat dapat karena terdapat unsur wajib dan pilihan. Misalkan, Pemohon dapat menjadi pedagang burger karena ada kewajiban Pemohon untuk menghidupi diri, tetapi dapat menjadi pedagang burger bukan suatu kewajiban karena ada pilihan untuk selain itu seperti menjadi pegawai BI atau hakim konstitusi. Namun, Pemohon wajib menjadi pedagang burger ketika tidak ada pilihan lain untuk itu yang jika tidak dilaksanakan menyebabkan tidak dapat menjalankan kewajiban untuk menghidupi diri. Dengan contoh ini, maka ada suatu kondisi yang menyebabkan norma yang bersifat dapat menjadi wajib ketika tidak ada pilihan selain itu yang menyebabkan terlanggarnya suatu kewajiban,” urai Rega.
Selanjutnya, Rega menjelaskan tanpa parameter yang ditentukan, norma Pasal 54 UU MK dapat dimaknai sebagai tidak wajib. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip due process of law yang adil dan terbuka sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Tanpa parameter kata ‘dapat’ yang jelas hal tersebut mungkin saja terjadi. Dalam rangka untuk melindungi warga negara untuk mendapatkan due process of law yang fair dan terbuka, maka perlu parameter yang jelas dalam pelaksanaan Pasal 54 UU MK. Terlebih, dinamika ketatanegaraan kita menunjukan keterangan DPR dan Presiden yang 5 menyerahkan kebijaksanaan kepada Mahkamah dalam persidangan berimplikasi kepada perluasan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Hal ini menunjukan keterangan DPR dan Presiden sangat substansial mempengaruhi putusan. Dengan parameter yang jelas secara hukum, maka Pemohon tidak perlu lagi memohon-mohon kepada MK untuk melaksanakan Pasal 54 UU MK,” tegas Rega.
Cantumkan Perkara Lanjut
Menanggapi permohonan Perkara Nomor 152/PUU-XXI/2023, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah meminta Pemohon untuk menyajikan data-data yang terkait perkara Pemohon yang pernah lanjut dalam persidangan pleno dan tidak yang kemudian saudara melihat bahwa ini diputuskan tanpa due process of law yang adil.
“Itu ada dalam permohonan Saudara ini. Kalau ada datanya sebutkan saja di perkara mana yang kemudian mestinya harus didengarkan keterangan DPR, sementara Saudara tidak didengarkan. Sehingga apa yang Saudara sampaikan bahwa itu melanggar prinsip due process of law yang fair itu memang bisa kita timbang-timbang,” saran Guntur.
Selanjutnya, sambung Guntur, Pemohon ingin frasa “dapat” ini menjadi wajib, namun Pemohon tidak mengaitkan dengan UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
“Di situ ada salah satu indikator diskresi itu karena adanya kata “dapat” dalam sebuah pasal. Jadi dapat itu bisa berarti iya bisa juga berarti tidak dalam konteks ini Mahkamah dapat mendengarkan, atau bisa juga seperti saudara katakan menjadi wajib tetapi bisa tidak juga, saudara kemudian membuatkan kriteria. Kalau kita mengacu UU 30/2014 itu, kata ‘dapat' sebuah diskresi. Diskresi dari pejabat dalam hal ini Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.
Sedangkan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh meminta Pemohon untuk memperkuat posita dalam Perkara Nomor 153/PUU-XXI/2023. Ia meminta agar Pemohon menguraikan mengenai definisi negarawan.
“Coba nanti diperkuat positanya terkait dengan negarawan itu. Apakah negarawan ini ada di konstitusi negara lain terkait dengan syarat menjadi hakim ataukah hanya satu-satunya di Indonesia. Karena itu pemohon menghendaki supaya usia itu tidak dikaitkan dengan negarawan. Apakah usia 55 tahun bisa dianggap lebih negarawan? Kalau misalnya usia awal itu 42 tahun. Ukuran negarawan itu seperti apa dan bagaimana di negara lain?" ujar Daniel kepada pemohon.
Di akhir persidangan, Panel Hakim memberikan waktu selama 14 hari kepada Pemohon untuk melakukan perbaikan permohonan. Selambatnya Pemohon harus menyerahkan permohonannya kepada Kepaniteraan MK pada Rabu, 20 Desember 2023 pukul 09.00 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina
Source: Laman Mahkamah Konstitusi