UU MK Digugat Usai Putusan Ketentuan Syarat Usia Capres-Cawapres

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Permohonan ini diajukan sebagai buntut dari Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang telah memaknai Pasal 169 huruf q UU MK terkait ketentuan persyaratan usia minimal untuk menjadi calon presiden dan/atau wakil presiden (capres-cawapres). 

Pemohon perkara yang teregistrasi dengan Nomor 151/PUU-XXI/2023 ini terdiri dari Aktivis Nelayan Pembela Konstitusi, Sugeng Nugroho; Aktivis Sosial Kemasyarakatan Penjaga Konstitusi, Teguh Prihandoko; serta Mahasiswa Magister Hukum, Azeem Marhendra. Para Pemohon memberikan kuasa kepada para Advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Pejuang Penegak Konstitusi (Petisi).

“Permohonan kami ini berangkat dari tentunya Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi diskusi publik akhir-akhir ini dan tergerak dari putusan tersebut, kami dalam hal ini para Pemohon sebagai warga negara mengambil sikap dan keputusan untuk mengajukan permohonan,” ujar kuasa hukum Pemohon, Fredrik Jacob Pinakunary dalam persidangan.

Dalam permohonannya, para Pemohon menilai, materi muatan Pasal 10 Ayat 1 dan Pasal 28 Ayat 1 UU MK secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Para Pemohon menilai memiliki kepentingan untuk mengawasi jalannya proses persidangan serta berhak atas putusan yang seadil-adilnya secara hukum dan bebas dari masalah yang mengancam independensi, imparsialitas, dan integritas hakim konstitusi. 

Pasal 10 Ayat 1 UU MK menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945; b. memutus sengketa kewenangan Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. memutus pembubaran partai politik; dan d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Pasal 28 Ayat 1 UU MK menyatakan, “Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.”

Menurut para Pemohon, kedua ketentuan tersebut bersifat ambigu, multitafsir, dan telah terbukti membuat MK tidak imparsial, tidak netral, dan jelas memihak, sebagaimana diputus dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Hal ini berkaitan dengan keikutsertaan Hakim Konstitusi Anwar Usman yang saat itu menjabat sebagai Ketua MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara mengenai persyaratan usia minimal menjadi capres dan cawapres.

Para Pemohon menuturkan, Anwar Usman memiliki benturan kepentingan karena dia seorang paman dari putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka. Setelah Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu, Gibran mencalonkan diri sebagai cawapres mendampingi capres Prabowo Subianto.

Para Pemohon mengatakan, apabila Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terbukti dihasilkan dengan diwarnai pelanggaran etik, maka terdapat kecacatan formil dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Jika dibiarkan berkekuatan hukum tetap, berlaku umum (erga omnes), dan dieksekusi, maka MK melanggengkan praktik yang mengingkari konstitusi.

Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 10 Ayat 1 UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai “…sepanjang tidak terdapat pelanggaran etik dan/atau kepatutan yang ditetapkan atau diputuskan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi  atau lembaga apapun yang diberikan wewenang oleh peraturan perundangan-undangan.”

Selain itu, para Pemohon meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 28 Ayat 1 UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai “…dan hakim konstitusi yang mengadili dan memutus dalam sidang pleno sebagaimana dimaksud secara mutlak tidak memiliki benturan kepentingan, termasuk potensi benturan kepentingan dengan perkara yang diperiksa, diadili, dan diputuskan.”

Kemudian, para Pemohon juga meminta MK menyatakan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau setidaknya menyatakan tidak dapat dilaksanakan atau non-executable.

Nasihat Hakim

Menanggapi permohonan tersebut, Panel Hakim memberikan saran perbaikan. Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta para Pemohon membaca Putusan Nomor 141/PUU-XXI/2023 yang berkaitan dengan pengujian Pasal 169 huruf q UU MK sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Menurut dia, dalil-dalil dalam permohonan ini sudah terjawab pada Putusan Nomor 141/PUU-XXI/2023. 

“Substansi-substansi yang didalilkan di dalam permohonan ini sudah kami dapat katakan di 141/PUU-XXI/2023 ini sudah dimuat semua,” ujar Wahiduddin.

Sementara itu, Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah meminta para Pemohon mempertimbangkan atau merumuskan kembali petitum yang diajukan. Dia mengingatkan, permohonan ini adalah pengujian norma bukan kasus konkret sehingga apabila dikabulkan apakah norma tersebut akan berantakan atau tidak.

“Kalau ini dipahami dan ini dikabulkan misalnya, apa ini tidak berantakan norma ini jadinya, karena norma ini berlaku untuk semua, kita kan erga omnes. Sehingga tolong ini dicari formula yang kalau ini dikabulkan maka ini diberlakukan secara erga omnes tidak masalah, ini boleh, ini bisa, begitu mestinya,” kata Guntur.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh yang juga ketua sidang panel mengatakan, Pasal 10 Ayat 1 UU MK merupakan penegasan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, apabila MK mengubah Pasal 10 Ayat 1 UU MK, maka secara tidak langsung MK juga mengubah UUD 1945.

“Jadi nanti coba dicermati, karena pasal ini sama persisdengan Pasal 24C Ayat (1) terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi,” kata Daniel.

Dia menuturkan, para Pemohon dapat menyampaikan perbaikan permohonan paling lambat pada 19 Desember 2023 pukul 09.00 WIB. Sidang selanjutnya akan ditentukan MK dan diinformasikan kepada para Pemohon. (*)

Penulis: Mimi Kartika

Editor: Lulu Anjarsari P.

Humas: M. Halim

 

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi