Menyoal Ketiadaan Larangan Calon Hakim Konstitusi Memiliki Semenda dengan Presiden-DPR
![](https://mkri.id/public/content/berita/original/berita_1697110623_80ac9ce594b13ab330ff.jpg)
JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), pada Kamis (12/10/2023). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 131/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Mochamad Adhi Tiawarman. Sidang Panel perkara tersebut digelar di Ruang Sidang Pleno dengan dipimpin oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Dalam persidangan, Muhammad Zen Al-Faqih selaku kuasa hukum Pemohon menjelaskan hak-hak konstitusional Pemohon dirugikan secara spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya berpotensi dilanggar dengan berlakunya norma yang terdapat di dalam Pasal 15 ayat (2) UU MK. Menurutnya, norma Pasal 15 ayat (2) UU MK nyata dan jelas tidak selaras dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang telah mengatur dengan jelas bahwa Ketua Majelis Hakim dan Hakim Anggota wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan pihak yang diadili.
Berdasarkan kenyataan hukum, sambung Zen, dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, kedudukan Presiden dan DPR merupakan pihak yang berkepentingan secara langsung. Menurutnya, selama adanya perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dan dalam proses pengujian undang-undang di MK, Presiden dan DPR akan mempertahankan keberlakuan undang-undang dan norma yang terdapat di dalam undang-undang. Ia menyebut, dalam rangka menjaga kekuasaan kehakiman yang merdeka dan independensi hakim konstitusi serta melindungi hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh konstitusi, maka seorang hakim konstitusi harus terbebas dari hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan pihak yang berkepentingan secara langsung dengan objectum litis (objek yang diadili) in casu terbebas dari hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan Presiden dan/atau anggota DPR. Zen menilai Pemohon tidak mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil jika permohonan Pemohon ini diadili oleh hakim konstitusi yang memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan pihak yang berkepentingan secara langsung dengan objectum litis (objek yang diadili) in casu terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan Presiden dan/atau anggota DPR.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon dengan menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU MK konstitusional bersyarat. “Pasal 15 ayat (2) UU MK tidak bertentangan dengan UUDv1945 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai ‘Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat: i. tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan Presiden dan/atau anggota DPR’,” tandas Zen.
Uraian Kerugian
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan Pemohon harus menguraikan dalam permohonan mengenai kerugian Pemohon apakah bersifat potensial atau aktual. Apabila kerugian Pemohon bersifat potensial, maka ada kemungkinan bisa tidak terjadi. Sedangkan, jika kerugian Pemohon bersifat aktual, maka hal ini dialami langsung oleh Pemohon.
“Itu harus Anda uraikan, tetapi ini harus berkaitan, karena ini bicara soal syarat calon hakim MK. Anda cek dulu dari Pemohonnya itu. Kira-kira terkoneksi tidak dengan syarat yang ada di sini. Sehingga memang ada anggapan kerugian di sini sekalipun potensial. Kalau tidak ada (kerugian) ya tidak bisa dilihat soal pokok (permohonan)-nya. Berhenti hanya di legal standing. Itu yang harus Anda perhatikan, memang belum diuraikan di sini baru cerita hal-hal di luar itu,” jelas Enny.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh meminta Pemohon untuk memperkuat bangun argumentasinya dengan menambahkan hasil penelitian atau perbandingan dengan negara lain. “Kalau di negara lain apakah syarat negarawan ada atau tidak. Karena kita lihat dalam kaitan dengan khususnya pengujian UU ini lebih ke norma umum yang abstrak. Tetapi tidak bisa dipungkiri juga kalau dalam kaitan dengan sengketa perselisihan hasil pemilu itu ada irisan kepentingannya juga pilkada maupun pilpres. Ini juga harus bisa menyakinkan hakim mengapa ini harus mundur dan sebagainya,” tegasnya.
Sedangkan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengatakan perlu diketahui bahwa Presiden dan DPR itu bukan pihak dalam pengujian UU di MK, tetapi sebagai pemberi keterangan. “Tolong nanti dalam permohonan Saudara bisa dibuat sedemikian rupa supaya bisa ketahuan bahwa kaitannya dengan konflik kepentingan itu memang ada konflik kepentingan dengan pihak. Karena sejatinya DPR dan Presiden bukan pihak. Itu perlu dielaborasi lagi, perlu dipertajam. Kalau permohonan ini dikabulkan anda kan tidak mempersoalkan norma pasal 15 ayat (2) ini. Tetapi ingin menambahkan norma baru, ini juga perlu dielaborasi lagi karena kan kerugian konstitusional itu dengan berlakunya norma. Normanya ini yang mana? Karena kalau berlakunya norma ini sepertinya tidak ada kerugian konstitusional pemohon tetapi anda ingin menambahkan norma,” terangnya.
Sebelum menutup persidangan, Guntur menerangkan Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun batas maksimal penyerahan berkas permohonan adalah Rabu, 25 Oktober 2023 pukul 09.00 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina
Source: Laman Mahkamah Konstitusi