Pemohon Uji Ketiadaan Batas Usia Tertinggi Capres-Cawapres Perbaiki Kedudukan Hukum

JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Senin (2/10/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang tersebut beragenda perbaikan permohonan yang disampaikan oleh pemohon Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh tiga perorangan bernama Rio Saputro, Wiwit Ariyanto, dan Rahayu Fatika Sari serta Perkara Nomor 104/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Gulfino Guevarrato.

Persidangan tersebut digelar secara luring dan dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah. Kuasa pemohon Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023 yakni Anang Suindro menyampaikan salah satu perbaikan permohonan terdapat dalam kedudukan hukum pemohon.

“Para pemohon adalah perorangan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional untuk memberikan hak pilihnya dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 34 UU Pemilu yang berbunyi pemilih adalah warga negara Indonesia yang sudah berusia genap 17 tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. Bahwa Pemohon adalah WNI yang sudah berumur 17 tahun sehingga Pemohon memiliki hak konstitusional untuk memilih dan mendapatkan presiden dan wakil presiden yang sehat secara jasmani dan rohani (Kesehatan mental dan psikologis). Dalam perbaikan terdapat pada halaman 10 poin 4,” ujarnya.

Kemudian, terkait dengan kerugian konstitusional Pemohon, Anang menegaskan pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih. Para pemohon juga menganggap hak-hak konstitusional pemohon bersifat potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan dapat terjadi dan menimbulkan kerugian konstitusional dengan keberadaan Pasal 169 huruf q UU Pemilu.

“UU Pemilu tidak mengatur adanya syarat batasan usia maksimal untuk menjadi capres dan cawapres sehingga hak konstitusional para pemohon untuk mendapatkan presiden yang produktif, energik serta sehat secara jasmani dan rohani setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi dan menimbulkan kerugian konstitusional apabila presiden dan wakil presiden yang dipilih hasil pemilihan umum yang memiliki usia 70 tahun. Pada alasan permohonan, perbaikan terdapat pada halaman 20,” terangnya.

Sementara Perkara Nomor 104/PUU-XXI/2023 ini, Donny Tri Istiqomah mengatakan terdapat kesalahan ketik seharusnya Pasal 28J ayat (1). “Kami mengikuti anjuran Yang Mulia Suhartoyo tentang kedudukan pemohon kita tambah tidak hanya sebatas tidak dipilih tetapi juga sebagai pemilih. Batu ujinya tetap Pasal 28J ayat (1). Nah, kerugian konstitusionalnya terkait kedudukannya sebagai pemilih menurut kami pemohon tidak akan peroleh haknya untuk memilih warga negara lainnya yang tidak dikehendaki pemohon. Untuk Pasal 169 huruf n tentang kerugian konstitusional karena tidak diatur pembatasan calon presiden maksimal dua kali karena itu tidak diatur kerugian konstitusionalnya yaitu karena pemohon tidak memperoleh haknya untuk memilih warga negara lainnya yang dikehendaki karena parpol atau gabungan parpol yang menjadi pengusung capres dan cawapres berpotensi untuk mengusung figure yang sama setiap penyelenggaraan pemilu,” terangnya.

Sebelumnya, sidang untuk dua perkara yakni Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh tiga perorangan bernama Rio Saputro, Wiwit Ariyanto, dan Rahayu Fatika Sari serta Perkara Nomor 104/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Gulfino Guevarrato. Jika Pemohon Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023 menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 169 huruf d dan huruf q, maka Pemohon Perkara Nomor 104/PUU-XXI/2023 menguji konstitusionalitas Pasal 169 huruf n dan huruf q. Dalam sidang tersebut, Anang Suindro yang merupakan kuasa hukum Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023 menyampaikan negara Indonesia harus dipimpin oleh presiden dan wakil presiden yang tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran. Pelanggaran yang dimaksud seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), penculikan aktivis, menghilangkan nyawa secara paksa dan tindakan-tindakan yang kontradiktif terhadap demokrasi dan/atau anti demokrasi, serta tindak pidana berat lainnya.

Pemohon menyebut, dalam Pasal 169 huruf d UU Pemilu pada klausul “tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya” menimbulkan kekaburan norma (voge norm) sehingga menyebabkan tidak terpenuhinya asas kepastian hukum pada pasal tersebut.

Untuk itu, dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 169 huruf d UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally in constitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “tidak pernah menghianati negara, tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi, tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat, bukan orang yang terlibat dan/atau menjadi bagian peristiwa penculikan aktivis pada tahun 1998, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku penghilangan orang secara paksa, tidak pernah melakukan tindak pidana genosida, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan yang anti demokrasi, serta tindak pidana berat lainnya.” Serta meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally in constitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) Tahun dan paling tinggi 70 (tujuh puluh) Tahun pada proses pemilihan”.

Batas Usia Maksimal

Sementara itu, Pemohon Perkara Nomor 104/PUU-XXI/2023 meminta bahwa batas usia calon presiden dan calon wakil presiden merujuk kepada batas usia produktif, yaitu 21 sebagai usia terendah dan 65 sebagai usia tertinggi. Beranjak ke norma Pasal 169 huruf d UU Pemilu yang dipersoalkan dalam Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023, para Pemohon menyampaikan bahwa ketentuan a quo menimbulkan kekaburan norma yang menyebabkan tidak terpenuhinya asas kepastian hukum pada keseluruhan pasal.

Para Pemohon kemudian meminta MK menyatakan pasal a quo inkonstitusional apabila tidak dimaknai tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi, tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran HAM berat, bukan orang yang terlibat dan/atau menjadi bagian peristiwa penculikan aktivis pada tahun 1998, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku penghilangan orang secara paksa, tidak pernah melakukan tindak pidana genosida, bukan orang  yang terlibat dan/atau pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan yang anti demokrasi serta tindak pidana berat lainnya.

Terakhir, terkait Pasal 169 huruf n UU Pemilu, Pemohon melihat perlunya aturan yang membatasi pencalonan presiden dan wakil presiden. Menurut Pemohon, penting bagi setiap calon untuk memiliki etika politik dan sifat kenegarawanan dalam pencalonannya sehingga apabila ia tidak terpilih setelah mencalonkan diri sebanyak dua kali, ia tidak lagi mencalonkan diri pada pemilu selanjutnya. Oleh karena itu, dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan pasal a quo inkonstitusional apabila tidak dimaknai belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama dan belum pernah mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sebanyak 2 (dua) kali dalam jabatan yang sama.(*)

Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha

Source: Laman Mahkamah Konstitusi