Pemohon Menyoal Persamaan Batas Usia Perkawinan dalam Dua Undang-Undang Cabut Permohonan
![](https://mkri.id/public/content/berita/original/berita_1695355670_8c7dfed7baf0f5e62ff8.png)
JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji materiil Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak (UUPA). Namun sidang kedua Perkara Nomor 99/PUU-XXI/2023 dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan ini, beralih agenda sebagai konfirmasi Mahkamah.
Dian Leonaro Benny selaku Pemohon menyatakan pencabutan/penarikan kembali permohonan yang telah diajukannya. Akan tetapi pada sidang pada Kamis (21/9/2023) ini, Pemohon Perkara Nomor 99/PUU-XXI/2023 tidak menghadiri persidangan. Sehingga Majelis Sidang Panel yakni Hakim Konstitusi Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, dan M. Guntur Hamzah hanya mempertegas pada sidang yang terbuka untuk umum atas informasi dari Pemohon ini.
Baca juga: Menuntut Persamaan Batas Usia Perkawinan dalam Dua Undang-Undang
Dalam sidang pendahuluan pada Rabu (13/9/2023) lalu, Pemohon menyebutkan perubahan batas usia minimal untuk perkawinan yang akhirnya setara antara laki-laki dan perempuan, termasuk dispensasi menikah untuk anak di bawah umur telah dijabarkan pada Putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017 berdampak pada meningkatnya pengajuan dispensasi kawin di pengadilan agama. Dari data yang disebutkan oleh Pemohon, pada Pengadilan Agama Kota Semarang hingga 13 November 2019 tercatat sudah 85 pengajuan dispensasi kawin. Sementara itu, di Pengadilan Agama Purwakarta selama 2019 tercatat 92 kasus permintaan dispensasi kawin. Akan tetapi, pada norma yang ada tidak disebutkan secara spesifik makna dari dispensasi tersebut. Secara sederhana, batas kerancuan dalam ketentuan hukum dan praktiknya ini bagi Pemohon terlihat pada pengajuan dispensasi perkawinan di Indonesia. Mayoritas masyarakat mengajukan ke Pengadilan Agama karena alasan kehamilan di luar nikah akibat pergaulan bebas pada anak. Selain itu, alasan berikutnya berupa faktor ekonomi atau kemiskinan. Para orang tua menjodohkan anaknya dengan pria yang lebih tua dengan harapan dapat merigankan beban dalam keluarga. Demi menghindari keracuan hukum dan guna terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sinkron satu dengan yang lain, maka sudah sepatutnya dilakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan, khusunya dalam pasal-pasal terkait batas umur anak atau batasan dewasa maupun batasan umur bagi siapa yang dapat diizinkan untuk kawin, misalnya diseragamkan umur 18 atau 19 tahun. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi membatalkan keberlakuan ketiga pasal yang diujikan dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina
Source: Laman Mahkamah Konstitusi