Siswa Trauma Akibat Sistem Zonasi PPDB
JAKARTA, HUMAS MKRI - Sistem zonasi penerimaan siswa baru membuat trauma siswa. Begitulah salah satu alasan Leonardo Siahaan mengajukan permohonan perkara pengujian Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan Leonardo dengan Nomor 85/PUU-XXI/2023.
Sidang perdana untuk memeriksa permohonan Leonardo digelar di MK pada Rabu (30/8/2023) secara luring. Dalam persidangan, Leonardo menyebut dirinya merupakan anak pertama dan memiliki dua adik kandung laki-laki yaitu Simon Fransisco Siahaan dan Yoel Riski Siahaan. Kedua adiknya ini mengalami trauma ketika melakukan pendaftaran di sekolah negeri akibat sistem zonasi.
“Kerugian konstitusional terletak kepada adik kandung Pemohon memiliki trauma akibat sistem zonasi penerimaan siswa baru. Trauma ini muncul ketika melakukan pendaftaran di sekolah negeri yang jaraknya tidak jauh dari rumah Pemohon dan akhirnya adik kandung Pemohon atas keputusan orang tua Pemohon lebih memilih sekolah swasta. Sistem zonasi telah menyebabkan banyaknya masyarakat mengalami kerugian konstitusional yang bukan hanya terjadi pada dua adik kandung saya,” ujar Leo.
Leonardo menjelaskan aturan zonasi penerimaan siswa diatur dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan. Permendikbud 44/2019) lahir dari perwujudan Pasal 11 ayat (1) UU 20/2023. Pemohon tidak bisa melakukan uji materil Permendikbud 44/2019 ke Mahkamah Agung dikarenakan uji Materil di Mahkamah Agung harus membayar administrasi sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). Sedangkan Leonardo mengaku tidak punya uang sebanyak itu, sehingga dia lebih memilih MK dalam menguji Pasal 11 ayat (1) UU Sisdiknas karena pasal tersebut masih satu rumpun dengan Permendikbud 44/2019.
Menurutnya, sistem zonasi tersebut banyak kelemahan. Peta koordinatnya pun kurang tepat.
“Sistem ini mengutamakan ‘kedekatan jarak’ memanfaatkan aplikasi peta Google. Sering kali titik koordinat disebut tidak akurat sehingga menyebabkan calon murid gagal mengikuti PPDB,” tegasnya.
Selain itu, sistem zonasi rentan kelebihan kapasitas. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaan evaluasi pelaksanaan Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) di daerah, ditemukan fakta bahwa Pemerintah Daerah kesulitan melakukan pemetaan jumlah usia anak sekolah yang sedang mengikuti PPDB dan jumlah daya tampung yang tersedia di sekolah. Sehingga dalam penerapannya cukup sulit dilaksanakan PPDB dengan jalur zonasi dengan presentase yang cukup besar. Kemudian, sistem ini disinyalir justru melahirkan kecurangan baru, yaitu manipulasi Kartu Keluarga agar anak bisa memasuki sekolah unggulan.
“Jadi, dapat dikatakan sistem zonasi ini sangat problematik yang bukan hanya dikatakan oleh Pemohon tetapi juga masyarakat luas yang dapat dikatakan domino effect. Kelemahan sistem zonasi cukup banyak. Tidak semua sekolah siap dengan sistem ini. Tujuan utama sistem zonasi untuk menyamaratakan kualitas Pendidikan. Tapi hal ini akan sulit jika sarana dan prasarana serta fasilitas belum merata. Kondisi mayoritas sekolah di Indonesia belum memenuhi standar yang layak ataupun berkualitas,” terangnya.
Leonardo dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 11 ayat (1) UU Sisdiknas bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranva pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi dan melarang penerimaan peserta didik melalui sistem zonasi atau kebijakan lainnya yang menimbulkan kesulitan peserta didik memperoleh pendidikan.”
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Leonardo, panel hakim menyampaikan nasihat demi penyempurnaan permohonan. Hakim Konstitusi Arief hidayat menasihati Leonardo agar mengkontestasikan norma yang diujikan yaitu Pasal 11 ayat (1) Sisdiknas dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.
“Pasal 11 ayat (1) UU Sisdiknas dengan Pasal Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 dilihat konsistensi, koherensi dan korespondensi. Coba betul-betul diamati dan dipelajari. Di dalam uraian-uraian di alasan permohonan Anda tidak pernah sekali-kali mengatakan Pasal ini bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD. Tetapi di dalam permohonan Saudara hanya menyebutkan ini masalah zonasi merugikan rakyat, merugikan adik Saudara dan membuat permasalahan-permasalahan dan sebagainya. Apakah peristiwa konkret yang terjadi itu merupakan kesalahan atau kekeliruan Pasal 11 ayat (1) dikontestasikan oleh Pasal 28C ayat (1) atau tidak?” kata Arief.
Selanjutnya, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyebut pemohon telah menguraikan mengenai soal pasal-pasal yang rujukannya itu putusan MK. “Ini harus betul-betul diuraikan ini dan sebelum ini harus pasal yang diuji tetap dikemukakan lebih dahulu norma yang diuji itu baru diuraikan Putusan MK Nomor 6 Tahun 2005, Nomor 11 Tahun 2007 itu. Selanjutnya Saudara sebutkan putusan itu satu persatu hak konstitusional yang dianggap dirugikan oleh UU itu,” jelas Manahan.
Sedangkan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah meminta Pemohon untuk menghayati norma ini. Persoalan konkret yang dihadapi Pemohon adalah system zonasi. “Anda punya masalah soal zonasi di wilayah kebijakan implementasi norma,” kata Guntur.
Sebelum menutup persidangan Panel Hakim memberikan waktu selama 14 hari kerja bagi Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Perbaikan permohonan paling lambat diserahkan pada 12 September 2023 kepada Kepaniteraan MK.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha
Source: Laman Mahkamah Konstitusi