Wajib Pajak Pertanyakan Prosedur Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Perpajakan

JAKARTA, HUMAS MKRI - Perseorangan warga negara bernama Surianingsih mengajukan permohonan pengujian Pasal 2 Angka 13 Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana atas perkara Nomor 83/PUU-XXI/2023 ini digelar di Ruang Sidang Panel MK pada Senin (28/8/2023) dengan Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, dan M. Guntur Hamzah.

Pasal 43A ayat (1) UU HPP menyatakan, “Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.”

Pasal 43A ayat (4) UU HPP menyatakan, “Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”

Cuaca selaku kuasa hukum Pemohon dalam persidangan mengatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam kasus konkret saat dilakukan pemeriksaan bukti permulaan (bukper) tindak pidana perpajakan sesuai ketentuan Pasal 43A ayat (4) UU HPP, Pemohon harus mengalami upaya paksa seperti penyegelan dan penggeledahan yang dapat dilakukan oleh penyidik (PPNS) dalam rangka pemeriksaan bukti permulaan. Hal ini menurut Pemohon tidak dapat pula digugat melalui Praperadilan di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Sebab surat-surat yang diterbitkan dalam rangka pemeriksaan bukti permulaan tersebut merupakan surat-surat yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana yang dikecualikan dari kompetensi PTUN.

Pemohon melihat hal ini menunjukkan tidak ada keseimbangan hukum dan perlindungan hak asasi manusia bagi wajib pajak yang diperiksa dalam pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana perpajakan. Selain itu, pada faktanya terdapat pula putusan pengadilan yang berbeda-beda berkaitan dengan permohonan praperadilan terhadap pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana perpajakan.

“Sejatinya pada UU HPP ini tidak mengatur dan memberi penjelasan lebih lanjut mengenai pemeriksaan bukti permulaan, maka harus dilihat lagi jelasnya pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Bahwa hampir seluruh kewenangan dalam pemeriksaan bukti permulaan merupakan bentuk kewenangan yang sifatnya memaksa terhadap pihak lain. Kewenangan yang bersifat memaksa ini, bentuk kewenangan dalam rangka penyidikan bukan penyelidikan. Oleh karena itu, ditinjau dari kewenangan apa saja yang dapat dilakukan saat pemeriksaan bukti permulaan, menunjukkan pemeriksaan bukti permulaan merupakan bagian dari penyidikan. Pemeriksaan bukti permulaan merupakan satu kesatuan dengan penyidikan bukan dua hal yang terpisah,” jelas Cuaca yang menghadiri persidangan secara daring.

Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 2 Angka 13 Pasal 43A ayat (1) UU HPP frasa “pemeriksaan bukti permulaan sebelum penyidikan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pemeriksaan bukti permulaan yang merupakan bagian penyidikan”.

Selain itu, menyatakan frasa “Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” dalam Pasal 2 Angka 13 Pasal 43A ayat (4) UU HPP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai “hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara”.

 

Kerugian Potensial

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan sejumlah catatan nasihat perbaikan. Di antaranya mengenai identitas Pemohon, ketentuan yang menyatakan kewenangan Mahkamah dalam menyelesaikan perkara tersebut, kedudukan hukum Pemohon yang disertai dengan anggapan kerugian akibat ketidakpastian hukum dari pelaksanaan norma yang diujikan.

“Dalam anggapan ketidakpastian yang potensial dialami Pemohon atas putusan praperadilan ini, harus dijelaskan dan diperkuat, sehingga Pemohon memiliki legal standing,” jelas Enny.

Berikutnya Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menasihati mengenai pasal yang diujikan harus ditelaah secara hati-hati. Guntur mempertanyakan apakah pasal-pasal yang diujikan tersebut sejatinya ditujukan dalam pemeriksaan bukti permulaan yang berkaitan dengan petugas dirjen pajak dan bukan pada wajib pajak pada umumnya. Atau jika ditujukan kepada wajib pajak umum, maka isu bukti permulaan ini berkaitan dengan Pemohon yang merupakan wajib pajak umum.

“Apabila kita baca utuh pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) ini, ‘pegawai direktorat’ berkali-kali disebutkan. Jadi, addressat dari norma ini harus dipastikan kepada siapa? Sebab perbedaan ini dapat mempengaruhi kedudukan hukum yang mengajukan pengujian norma ini,” sampai Guntur.

Sebelum menutup persidangan, Ketua Panel Hakim Wahiduddin Adams menyebutkan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Naskah perbaikan diserahkan selambat-lambatnya pada Senin, 11 September 2023 pukul 09.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Setelah itu, MK akan menjadwalkan dan meningformasikan persidangan lanjutan kepada pihak Pemohon.

 

Penulis: Sri Pujianti.

Editor: Nur R.

Humas: Andhini SF.

Source: Laman Mahkamah Konstitusi