Nilai Sosial dan Budaya Hukum di Balik Masa Berlaku SIM

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) pada Senin (21/8/2023). Sidang perkara Nomor 42/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Arifin Purwanto yang berprofesi sebagai advokat. Sidang ketujuh ini beragenda mendengarkan keterangan Ahli Pihak Terkait Kepolisian RI (Polri).  

Dalam persidangan yang digelar secara luring dan dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, Nurhasan Ismail selaku ahli yang dihadirkan oleh Polri menyampaikan proses pembentukan UU LLAJ didasarkan karena adanya kepentingan yang didorong oleh perubahan teknologi otomotif yang semakin canggih. Perkembangan teknologi otomotif itu sudah semakin berkembang hingga saat ini.  

“Perkembangan otomotif ini adalah di satu sisi adalah kepentingan masyarakat Indonesia memanfaatkan teknologi otomotif ini bagi kemajuan bangsa. Artinya ada manfaat positif. Tetapi dibalik itu tentu ada potensi dampak negatif dari perkembangan teknologi otomotif itu, karena bagaimanapun tingkat kecepatan teknologi otomotif akan sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat khususnya terjadinya kecelakaan lalu lintas yang bukan hanya sekedar menyebabkan orang luka tetapi bisa menyebabkan kematian atau fatalitas,” kata Nurhasan Ismail yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM).

Menurutnya, kepentingan-kepentingan tersebut yang mendasari adanya proses politik untuk mewujudkan tujuan yang hendak dicapai dan memilih strategi dan itulah yang dikandung secara singkat di dalam UU LLAJ. Ia menyebut, tujuan yang hendak dicapai tersebut di antaranya adalah menciptakan lalu lintas yang berkeselamatan. Menjamin keselamatan setiap orang di ruang lalu lintas itu sendiri.

Lebih lanjut Nurhasan menjelaskan di dalam UU LLAJ disebutkan bahwa orang yang akan diberi atau diterbitkan SIM harus lulus uji pengetahuan, uji kesehatan baik jasmani dan rohani serta lulus praktek. Sehingga harus mempunyai kompetensi mengemudi yang mampu menjamin lalu lintas berkeselamatan. Kemudian, untuk menyiapkan pengemudi yang mampu menjamin LLAJ ini adalah adanya evaluasi terhadap kesehatan baik jasmani maupun rohani. Menurut Nurhasan, mengemudi itu menuntut kesehatan jasmani dan rohani. Tentu untuk jenis SIM tertentu harus uji keterampilan simulator. Sementara evaluasi dilakukan melalui perpanjangan yang ditentukan setiap lima tahun.

Ia juga menjelaskan SIM berlaku lima tahun telah berlaku 75 tahun lalu setelah adanya UU LLAJ yang pertama, yakni pada tahun 1933. “Kemudian dikutip kembali atau diadopsi kembali dalam UU Nomor 3 Tahun 1965 dan itu juga diadopsi kembali dalam UU Nomor 14 Tahun 1992, dan ketika pembentuk  UU LLAJ 22 Tahun 2009 itu tinggal mengadopsi kembali. Jadi, itu sudah menjadi bagian dari budaya hukum kita dan sudah menjadi budaya kesadaran hukum kita,” ungkap Nurhasan.

Nurhasan mengungkapkan, di balik angka lima tahun terkandung nilai sosial dan budaya hukum yang mana untuk menghormati kehidupan. Lima tahun itu berarti saat untuk dilakukannya evaluasi yang berarti terdapat dorongan dari nilai menghormati kehidupan dan menjaga keselamatan baik diri sendiri maupun orang lain sesama pemakai jalan.

Dari sudut budaya, sambungnya, angka siklus lima tahun itu sudah menjadi bagian dari budaya politik negara Indonesia. “Banyak jabatan-jabatan politik ditentukan lima tahun tanpa ada penjelasan apapun. Bahkan putusan MK yang terakhir ketika mengubah masa jabatan pimpinan salah satu lembaga dari empat tahun menjadi lima tahun itu menunjukkan bahwa siklus lima tahunan itu sudah  menjadi bagian dari budaya politik kita. Kalau sudah menjadi bagian dari budaya kita tidak bisa tidak, ya harus melaksanakan itu. Kita tidak bisa terhindar dari itu,” tegasnya.


Baca juga:

Masa Berlaku SIM dalam UU LLAJ Diuji ke MK

Pemohon Minta SIM Berlaku Seumur Hidup

DPR dan Presiden Belum Siap Beri Keterangan Ihwal Masa Berlaku SIM

Pemerintah: Kesehatan dan Kompetensi Keterampilan Mengemudi Harus Dievaluasi

Polri: Masa Berlaku SIM Masih Sangat Relevan Diterapkan

Saksi Cerita Pengalaman Ujian SIM


 

Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 42/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian UU LLAJ diajukan oleh Arifin Purwanto yang berprofesi sebagai advokat. Arifin mengujikan Pasal 85 ayat (2) UU LLAJ yang menyatakan, “Surat Izin Mengemudi berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang.”

Dalam persidangan yang digelar di MK pada Rabu (10/5/2023) Arifin mengatakan setiap lima tahun sekali ia harus memperpanjang Surat Izin Mengemudi (SIM). Arifin merasa dirugikan apabila harus memperpanjang SIM setelah masa berlakunya habis/mati yakni lima tahun. Ia harus mengeluarkan uang/biaya serta tenaga dan waktu untuk proses memperpanjang masa berlakunya SIM setelah habis/mati.

 “Setiap perpanjangan SIM, misalnya lima tahun yang lalu saya mendapatkan SIM setelah itu lima tahun habis saya akan memperpanjang kedua. Ini nomor serinya berbeda, Yang Mulia. Di sini tidak ada kepastian hukum dan kalau terlambat semuanya harus mulai dari baru dan harus diproses. Tentu berbanding terbalik dengan KTP. Jadi kalau KTP langsung dicetak,” kata Arifin dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.

Sesuai dengan UU LLAJ, setiap pengendara wajib memiliki SIM. Bagi pengendara kendaraan bermotor yang akan memiliki/mendapatkan SIM tentu bukan perkara yang mudah terutama pada saat ujian teori dan praktik. Hasil ujian teori tidak ditunjukkan mana jawaban yang benar dan mana yang salah namun hanya diberitahu kalau tidak lulus ujian teori.

Selain itu, tolak ukur materi ujian teori dan praktik tidak jelas dasar hukumnya dan apa sudah berdasarkan kajian dari lembaga yang berkompeten dan sah serta memiliki kompetensi dengan materi ujian tersebut. Hal ini menurut Pemohon jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Arifin meminta MK untuk mengabulkan permohonan dan menyatakan Pasal 85 ayat (2) UU LLAJ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang” tidak dimaknai “berlaku seumur hidup”.

 

 

Penulis: Utami Argawati.

Editor: Nur R.

Humas: Andhini SF.

 

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi