Aturan Masa Jabatan Bagi Kepala Daerah Terpilih pada Pilkada 2018 Konstitusional
![](https://mkri.id/public/content/berita/original/berita_1690849739_2f9c13dc2cba280d6305.jpg)
JAKARTA, HUMAS MKRI – Aturan hitungan masa jabatan bagi kepala daerah yang terpilih pada 2018 sebagaimana tercantum dalam Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Atas hal tersebut, Majelis Hakim Konstitusi menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan oleh Bupati dan Wakil Bupati Kepulauan Talaud dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2018, Elly Engelbert Lasut dan Moktar Arunde Parapaga. Putusan Nomor 62/PUU-XXI/2023 tersebut dibacakan pada Senin (31/7/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. “Mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, Mahkamah berpendapat sebagai norma transisi yang disusun secara spesifik untuk mewadahi pemilihan kepada daerah pada 2018—yang kemudian dikaitkan dengan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak secara nasional 2024, maka memaknai frasa “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2018 menjabat sampai dengan Tahun 2023” pada Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada menjadi “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun atau memegang masa jabatan semaksimal mungkin sampai periode Pilkada Serentak tahun 2024 dilaksanakan terhitung sejak tanggal pelantikan,” dapat menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap 170 kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih pada masa 2018.
Lebih lanjut Saldi menyebutkan, apabila dibaca dan dimaknai secara utuh, norma Pasal 201 auat (5) UU Pilkada dikaitkan dengan keberadaannya sebagai norma peralihan, menurut Mahkamah frasa “hasil Pemilihan Tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023” merupakan bagian yang paling esensial dari keseluruhan norma dalam pasal tersebut. Dengan memberikan pemaknaan baru terhadap frasa tersebut justru berpotensi menimbulkan implikasi yang tidak sederhana terhadap pemilihan kepala daerah lainnya yang diselenggarapan pada 2018 lalu. Sebab, pada 2018 lalu terdapat 171 daerah yang telah menyelenggarakan pemilihan secara serentak. Dalam batas penalaran yang wajar, selain dari pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kepulauan Talaud terdapat pula 170 kepala daerah yang mendasarkan pengaturan masa transisinya kepada norma yang diatur dalam Pasal 201 ayat (5).
“Sehingga pasangan daerah lain selain Pemohon dalam perkara ini juga diatur dan tunduk pada ketentuan tersebut. Dengan demikian, perubahan atas ketentuan tersebut dapat berdampak pada pasangan kepala daerah lainnya. Selain itu, pemaknaan ini juga menimbullkan implikasi yang tidak sederhana atas norma-norma lain dalam Pasal 201 UU Pilkada, termasuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dilaksanakan pada masa transisi 2020,” sebut Saldi.
Merusak Konstruksi Norma
Berikutnya, Saldi menyebutkan Mahkamah menyadari pelantikan merupakan titik permulaan untuk menghitung masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, namun ketika Pemohon memohonkan agar memaknai frasa “hasil Pemilihan tahun 2018 menjadi sampai dengan tahun 2023” dalam norma pasal 201 ayat (5) UU Pilkada menjadi “memegang masa jabatan selama lima tahun atau memegang masa jabatan semaksimal mungkin sampai periode Pilkada Serentak Tahun 2024 dilaksanakan terhitung sejak tanggal pelantikan”. Pemaknaan demikian, sambung Saldi, tidak hanya dapat merusak konstruksi norma transisi dalam Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada, tetapi juga dapat merusak konstruksi norma transisi dalam pasal 201 UU Pilkada secara keseluruhan. Dengan demikian, menurut Mahkamah ketentuan pasal 201 ayat (5) UU Pilkada tidak menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum yang dijamin UUD 1945 sehingga permohohan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Persoalan Ketidaknormalan
Dalam putusan tersebut, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Suhartoyo memiliki alasan hukum berbeda (concurring opinion) sehubungan dengan permohonan pengujian Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada. Alih-alih menolak permohonan Pemohon, kedua hakim konstitusi tersebut menyatakan seharusnya permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Pada perkara yang dimohonkan ini, sejatinya terdapat ketidaknormalan terhadap periode pemilihan kepala daerah. Sebelum adanya pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024, masa jabatannya seharusnya lima tahun namun kemudian menjadi bervariasi dan pada akhirnya ada pula yang harus menerima kenyataan hanya menjabat kurang dari lima tahun. Ketidaknormalan yang dihadapi Pemohon ini mungkin saja dihadapi oleh kepala daerah lainnya yang terdampak semestinya tidak terjadi dan tidak boleh dirugikan dua kali.
“Seharusnya terhadap persoalan inkonstitusionalitas norma ini seharusnya dapat menyesuaikan agar dapat mengakomodir persoalan-persoalan seperti yang dialami Pemohon pada perkara ini. Namun demikian, dikarenakan permohonan Pemohon kabur dan seandainya permohonan tidak kabur maka dengan dilanjutkan persidangan lanjutannya dan dapat saja Mahkamah belum sampai pada kesimpulan menolak permohonan a quo dan menyatakan ketentuan norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada konstitusional, akan tetapi menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” sampai Guntur.
Baca juga: Pejabat Kepulauan Talaud Sempurnakan Alasan Uji Masa Jabatan Kepala Daerah
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan pada Selasa (4/7/2023), Pemohon mendalilkan merasa dirugikan atas Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada. Pemohon menyebut ketentuan Pasal 162 ayat (2) UU Pilkada telah menegaskan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota memegang masa jabatan selama lima tahun. Artinya, semenjak dilantik pada 2020, masa jabatan para Pemohon akan genap tahun dan berakhir pada 2025. Pelantikan Elly Engelbert Lasut dan Moktar Arunde Parapaga (para Pemohon) tertunda selama dua tahun. Tertundanya pelantikan bukan disebabkan oleh kesalahan para Pemohon, melainkan karena Gubernur Provinsi Sulawesi Utara menolak melakukan pelantikan para Pemohon. Sehingga para Pemohon menempuh upaya hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Menurut para Pemohon, berlakunya ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada secara langsung menghilangkan kesempatan para pemohon untuk ikut berperan secara langsung dan mengurus urusan pemerintahan Kabupaten Kepulauan Talaud bersama-sama dengan DPRD Kabupaten Kepulauan Talaud secara penuh selama lima tahun. Padahal baik para pemohon selaku bupati dan wakil bupati maupun DPRD Kabupaten Kepulauan Talaud meskipun dipilih melalui mekanisme yang berbeda dalam hal ini DPRD dipilih melalui pemilu dan para Pemohon lewat pilkada keduanya sama-sama dipilih untuk mengemban masa jabatan selama lima tahun.
Dalam permohonannya, para Pemohon menerangkan penggunaan kata “hasil pemilihan” dan bukan “hasil pelantikan” pada ketentuan Pasal 201 ayat (5) tersebut membuka kemungkinan masa jabatan para Kepala Daerah tidak dilaksanakan secara penuh selama lima tahun. Sebab ada kemungkinan terdapat jeda waktu antara pengumuman hasil pemilihan dengan proses pelantikan. Oleh karena itu, para Pemohon dalam petitum meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Bupati dan Wakil Bupati mengemban masa jabatan 5 (lima) tahun sejak tanggal pelantikan.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim
Source: Laman Mahkamah Konstitusi