Proses di MKDKI Fokus pada Due Process of Ethics
JAKARTA, HUMAS MKRI - Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) merupakan penegak disiplin kedokteran yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter atau dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi. Oleh karena itu, proses yang dilakukan oleh MKDKI lebih berfokus pada due process of ethics daripada due process of law.
Due process of law mengacu pada prinsip hukum yang menjamin perlakuan yang adil dan prosedural dalam sistem peradilan yang formal. Prinsip ini melibatkan hak-hak seperti pemberitahuan, pendengaran yang adil, persidangan terbuka, dan kesempatan untuk membela diri. Namun, proses yang diikuti oleh MKDKI didasarkan pada aturan dan norma etika profesi kedokteran, yang dapat berbeda dengan prosedur hukum formal. Oleh karena berkaitan dengan penegakan disiplin dokter atau dokter gigi maka proses pemeriksaannya pun tertutup untuk umum kecuali pada sidang pembacaan putusan Majelis Pemeriksa Disiplin (MPD). Hanya untuk perkara tertentu yang memiliki kompleksitas tinggi atau mendapat perhatian masyarakat luas yang dapat diajukan untuk dibahas dalam pleno MKDKI apabila hal tersebut dianggap perlu dan diusulkan oleh mayoritas anggota MPD.
Demikian petikan pertimbangan hukum Putusan Nomor 21/PUU-XXI/2023 yang dibacakan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Sidang pengucapan putusan atas uji materiil Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) ini digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (18/7/2023). Permohonan pengujian Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran ini diajukan oleh Gede Eka Rusdi Antara (Pemohon I), Made Adhi Keswara (Pemohon II), dan I Gede Sutawan (Pemohon III). Para Pemohon merupakan Dokter Spesialis Bedah.
Lebih lanjut Enny menyebutkan, dalam konteks MKDKI, due process of ethics menerapkan prosedur yang adil, kebebasan berbicara, dan kesempatan untuk memerikan tanggapan atau pembelaan dalam proses pemeriksaan. Meski tidak terikat dengan prinsip due process of law yang ketat, MKDKI tetap harus menjalankan proses dengan transparan dan keadilan guna memastikan keputusan yang diambil didasarkan pada disiplin kedokteran yang berlaku dalam praktik kedokteran. Dengan demikian tujuan menegakkan disiplin dokter atau dokter gigi dapat terwujud dalam melindungi masyarakat dari tindakan yang dilakukan dokter atau dokter gigi yang tidak kompeten serta menjaga kehormatan profesi kedokteran.
Ruang Keseimbangan Hak
Sekalipun keputusan MKDKI mengikat dokter, dokter gigi, dan KKI namun dalam penegakan disiplin hal demikian tidak menghilangkan hak-hak dokter atau dokter gigi untuk membela diri karena mekanisme atau tata cara penanganan pengaduan disiplin dokter atau dokter gigi didesain dengan memberikan ruang keseimbangan hak antara pengadu dan teradu, bahkan teradu tetap diberikan kesempatan untuk memerikan tanggapan akhir hingga mengajukan dokumen baru dalam putusan yang dijatuhkan. Berkaitan dengan ini, sambung Enny, ketentuan peralihan Perkonsil 50/2017 menegaskan pada saat berlakunya aturan tersebut maka pemeriksaan pengaduan yang telah mencapai tahap pemberian kesempatan kepada Teradu untuk mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 32 Tahun 2015 tetap diberlakukan sesuai dengan ketentuan tersebut hingga sidang pembacaan putusan MPD. Sementara mengenai mekanisme keberatan sebagaimana disebutkan dalam Perkonsil 32/2015 tidak lagi diatur dalam Perkonsil 50/2017 namun esensi dari keberatan yang dimaksud tersebut telah terserap dalam pengaturan mengenai tanggapan akhir atau pembelaan yang diberikan kepada teradu. Bahkan, jelas Enny, Teradu dapat meminta untuk dilakukan pemeriksaan ulang berdasarkan dokumen pendukung yang diajukannya,
“Oleh karenanya, dalil para Pemohon yang mempersoalkan tidak adanya “keberatan” yang dapat dilakukan oleh pihak Teradu tersebut tidaklah benar. Karena Teradu tetap diberikan kesempatan sebelum pengambilan keputusan dalam Sidang MPD untuk menyampaikan tanggapan akhir atau pembelaan dengan menyertakan dokumen pendukung untuk dilakukan pemeriksaan ulang. Sementara apabila yang dimaksud oleh para Pemohon berupa keberatan atas Keputusan MKDKI, maka hal ini tidak relevan untuk diakomodir karena KKI merupakan lembaga yang menjalankan keputusan MKDKI dan tidak mempunyai kewenangan untuk menilai substansi Keputusan MKDKI,” sebut Enny.
Kedudukan Keputusan KKI
Berikutnya Enny menjabarkan pula mengenai pertimbangan hukum menyoal kedudukan dan Surat Keputusan KKI dalam memberikan sanksi disiplin terhadap dokter dan dokter gigi yang dapat dilakukan upaya hukum ke lembaga peradilan yang berwenang (pengadilan tata usaha negara/PTUN). Enny menjelaskan bahwa pernyataan ini didasarkan pada ketentuan Pasal 5 UU Praktik Kedokteran yang menyatakan kedudukan KKI dalam menjalankan tugasnya berada di ibu kota negara, sehingga badan ini memiliki fungsi dalam pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan atas dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis.
Fungsi ini, sambung Enny dimaksudkan sejalan dengan fungsi pemerintahan sebagaimana ditentukan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 214 tentang Administrasi Pemerintahan. Jika dikorelasikan dengan keberadaan KKI, sambung Enny, maka keputusan KKI tersebut dapat tergolong pada hal yang terkait dengan administrasi pemerintahan, sehingga dapat dijadikan objek gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Berkaitan dengan dalil konstitusionalitas Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran, karena tidak adanya keberatan yang dapat diajukan ke KKI sebab keputusan MKDKI bersifat mengikat, maka hal demikian merupakan dalil yang tidak beralasan hukum. Dengan demikian keberadaan frasa “mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia” yang terdapat pada pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan hukum untuk seluruhnya.
“Mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar Putusan Nomor 21/PUU-XXI/2023 secara langsung dari Ruang Sidang Pleno dengan didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan hakim konstitusi lainnya.
Keputusan MKDKI Mengikat KKI
Sembilan hakim konstitusi tidak bulat dalam pengambilan putusan perkara pengujian UU Praktik Kedokteran ini. Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah memiliki pendapat Berbeda (dissenting opinion). Menurut Guntur, sebagai lembaga otonom MKDKI bertanggung jawab pada KKI, namun KKI tidak diberikan ruang untuk membuka upaya keberatan dan banding administratif kepada dokter atau dokter gigi teradu, justru menjadikan keputusan MKDKI serta merta mengikat KKI. Terlebih salah satu keputusan MKDKI yakni rekomendasi pencabutan STR yang bersifat mengikat KKI. Artinya, sambung Guntur, tidak ada ruang bagi KKI untuk menilai ulang yang berujung pada mengabulkan atau tidak mengabulkan. Sementara rekomendasi pencabutan SIP tidak bersifat mengikat lembaga penerbit SIP yang disampaikan KKI kepada Dinas Kesehatan (Penerbit SIP). Lebih rinci Guntur menyebutkan makna norma ‘rekomendasi’ keputusan MKDKI kepada MKDKI menjadi berbeda jika rekomendasinya ditujukan untuk rekomendasi pembatalan SIP. Perbedaan ini, terang Guntur, dapat menimbulkan ketidakadilan bagi dokter atau dokter gigi.
“Sehingga secara doktriner dengan menggunakan bahasa ‘rekomendasi’, maka rekomendasi MKDKI yang disampaikan KKI kepada Dinas Kesehatan bermakna, rekomendasi pencabutan SIP seharusnya dapat dinilai oleh Dinas Kesehatan sesuai dengan asas contrarius actus. Demikian halnya rekomendasi MKDKI kepada KKI ubtuk pencabutan STR seharusnya dapat dinilai ole KKI dalam arti disetujui atau tidak disetujui, sehingga rekomendasi yang dimaksud dapat dinilai melalui forum di luar MKDKI. Sehingga dalam penalaran yang wajar, seharusnya KKI berwenang untuk menyetujui atau tidak keputusan MKDKI,” jelas Guntur.
Baca juga:
Menguji Konstitusionalitas Aturan Proses Pemeriksaan MKDKI
Pemohon Uji Materiil Aturan Ketentuan Pemeriksaan MKDKI Bertambah
MKDKI dan KKI Memiliki Independensi Masing-Masing
Pemerintah: KKI Tidak Dapat Periksa Kembali Putusan MKDKI
KKI dan MKDKI Lakukan Fungsi Penghukuman Serupa Lembaga Peradilan
MKDKI Lembaga Penegak Disiplin, Bukan Lembaga Penegak Hukum
Untuk diketahui, Gede Eka Rusdi Antara (Pemohon I), Made Adhi Keswara (Pemohon II), dan I Gede Sutawan (Pemohon III) (para Pemohon) merupakan Dokter Spesialis Bedah. Pemohon mendalilkan pasal yang diuji adalah Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran terutama terhadap frasa “Mengikat dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G UUD 1945. Pemohon I dalam menjalankan praktik kedokteran memiliki persoalan yakni dilaporkan MK DKI berdasarkan pengaduan Nomor 7 Tahun 2022. Padahal dalam melaksanakan praktik kedokteran operasi terhadap pasien, Pemohon I dan Pemohon II telah menjalankan praktik berdasarkan disiplin keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam menjalankan pemeriksaan di MKDKI, Pemohon I dan Pemohon II mendapatkan proses yang tidak transparan dan tidak berkeadilan serta tidak terdapat pelanggaran atas hak-hak yang dijamin oleh konstitusi yang kerap terjadi selama proses MKDKI. Adapun pelanggaran-pelanggaran atas hak Pemohon I dan Pemohon II dalam memeriksa teradu MKDKI membentuk Majelis Pemeriksa Disiplin disebut MPD yang di dalamnya terdapat unsur Sarjana Hukum, padahal fungsi MPD adalah untuk memeriksa adanya pelanggaran disiplin bagi dokter saat menjalankan praktek kedokteran. Selanjutnya, Pemohon I dan Pemohon II didampingi oleh kuasa teradu, namun kuasa pihak teradu tidak dapat melakukan pembelaan ataupun memberikan keterangan menurut kuasa teradu perlu diberikan dalam rangka membela hak teradu sebagai pemberi kuasa atau hanya mencatat saja.
Singkatnya, saksi dan ahli yang dihadirkan oleh Pemohon diperiksa oleh MPD tanpa dihadiri oleh yang bersangkutan, ia tidak mengetahui pertanyaan yang diajukan oleh MPD. Atas hal ini, Pemohon meminta UU Praktik Kedokteran dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 sepanjang frasa “Mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” tidak dimaknai bersifat rekomendasi dan mengikat dokter, dokter gigi, dan KKI serta tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan gugatan perdata atau pidana. Selain itu, para Pemohon juga menilai pasal yang diujikan telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil karena mendudukkan KKI sebagai lembaga yang berada di bawah MKDKI karena keputusan MKDKI yang langsung mengikat KKI dalam membuat KKI bagi teradu. Padahal putusan MPD yang memberikan sanksi dituangkan dalam keputusan MKDKI pasal 69 ayat (3) adalah rekomendasi. Untuk itu, Pemohon meminta agar pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi