MK Kabulkan Penarikan Permohonan Uji Ketentuan Pajak Penghasilan

JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan penarikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 38/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh Heriyansyah, seorang buruh pabrik yang berdomisili di Kabupaten Bekasi.

“Menyatakan Permohonan dalam perkara Nomor 38/PUU-XXI/2023 mengenai Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditarik kembali,” kata Ketua Pleno Anwar Usman dalam sidang pengucapan ketetapan pada Rabu (20/7/2022).

Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 30 Maret 2023, yang diajukan oleh Herlyansyah yang berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 23 April 2023 memberi kuasa kepada Hendrawarman, Dhipra Nugroho Putra, Destinal Armunanto, WS Guntur, Muhammad Hardjan Anwar dan Ayu Arselia Putri. Permohonan tersebut diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 30 Maret 2023 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 33/PUU/PAN.MK/AP3/03/2023, bertanggal 30 Maret 2023.

“Dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi I Elektronik (e-BRPK) pada tanggal 11 April 2023 dengan Nomor 38/PUU-XXI/2023 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Republik Indonesia Tahun 1945 Perpajakan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ujar Anwar.

Sesuai dengan Pasal 34 UU MK, sambung Anwar, Mahkamah telah melaksanakan Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo pada 3 Mei 2023. Sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Panel Hakim telah memberi nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya

“Termasuk melengkapi nama Kuasa Hukum dalam permohonan Pemohon karena Surat Kuasa Pemohon bertanggal 23 April 2023, yang diterima Mahkamah pada tanggal 3 Mei 2023 [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 38 PUU-XXI/2023, tanggal 3 Mei 2023],” sambung Anwar.

Kemudian, lanjut Anwar, Mahkamah telah menyelenggarakan Sidang Panel dengan acara pemeriksaan Perbaikan Permohonan Pemohon pada 17 Mei 2023. Dalam persidangan dimaksud, Pemohon menyatakan menarik kembali Permohonan Nomor 38/PUU-XXI/2023 dengan alasan permohonan tersebut bukan merupakan kewenangan Mahkamah. Selanjutnya, setelah penyelenggaraan sidang dimaksud, pada hari yang sama, Mahkamah menerima Surat Nomor 018/BANA/V/2023 perihal Permohonan Penarikan Kembali Pengujian Undang-Undang (PUU) bertanggal 16 Mei 2023.

“Terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, ‘Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan’. Dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan, bahwa ‘penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali’,” terang Anwar.

Sehingga, Anwar mengatakan, berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 22 Mei 2023 telah mengabulkan dan menetapkan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 38/PUU-XXI/2023 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo.

“Berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon. Mengabulkan pencabutan kembali permohonan Pemohon. Menyatakan Permohonan dalam perkara Nomor 38/PUU-XXI/2023 mengenai Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditarik kembali,”tandas Anwar dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya,” terang Anwar.

Baca juga:
Buruh Pabrik Persoalkan Ketentuan Pajak Penghasilan
Buruh Pabrik Tarik Permohonan Uji Ketentuan Pajak Penghasilan

Sebelumnya, Heriyansyah menguji norma yang berbunyi Pasal 4 ayat (1a) UU 7/2021. Pasal 4 ayat (1a) UU 7/2021 menyatakan, “(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk: a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.”

Pemohon menjelaskan bahwa permohonan ini mengenai pengujian Pasal 4 ayat (1a) UU Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Ia mengatakan terhadap pasal a quo berkaitan dengan frasa natura/kenikmatan mengandung arti pajak kenikmatan atas fasilitas Kesehatan. Norma pasal a quo tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945.  Pemohon mendalilkan telah menerima Surat Balasan Direktorat Jenderal Direktorat II atas Surat Permohonan yang telah disampaikannya atas Pajak Kenikmatan yang berpotensi menghabiskan penghasilan Pemohon. Pemohon kemudian menjelaskan bahwa disahkannya UU a quo mengakibatkan fasilitas kesehatan dan berobat pegawai oleh pemberi kerja yang semula dikecualikan dari objek pajak penghasilan (PPh), kini menjadi objek PPh. Hal tersebutlah yang diyakini Pemohon telah merugikannya. Atas dasar itu, MK diminta Pemohon menyatakan Pasal 4 ayat (1a) UU 7/2021 frasa natura/kenikmatan dalam bentuk fasilitas kesehatan merupakan kenikmatan yang bukan merupakan objek PPh. (*)

Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayudhita

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi