Persoalkan Implementasi Norma, Uji UU Guru dan Dosen Ditolak
![](https://mkri.id/public/content/berita/original/berita_1681468765_78e456a73deb35ae35b0.jpg)
JAKARTA, HUMAS MKRI – Pemaknaan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) yang berkaitan dengan persoalan penghasilan bagi dosen yang bertugas melaksanakan tugas belajar secara normatif telah mengakomodir berbagai jenis penghasilan, baik bagi dosen yang tidak bertugas belajar maupun bagi dosen yang melaksanakan tugas profesional dalam rangka tugas belajar. Demikian pertimbangan hukum Majelis Hakim Konstitusi yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah atas uji materiil UU Guru dan Dosen dalam Sidang Pengucapan Putusan MK yang digelar pada Jumat (14/4/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Terkait dengan permasalahan yang diutarakan Gunawan A. Tuada dan Abdul Kadir B. selaku Pemohon yang mengaku tidak dilanjutkan pembayaran tunjangan profesi dosen yang sedang tugas belajar, Guntur mengatakan undang-undang tersebut telah mengatur hak dosen dalam menjalankan keprofesionalannya yakni berhak memperoleh penghasilan atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai hak dosen tersebut telah diatur melalui peraturan teknis di bawahnya. Lebih lanjut, sambung Guntur, dalam perumusan norma Pasal 51 ayat (1) UU Guru dan Dosen sama sekali tidak diatur mengenai penghentian tunjangan profesi dosen. Justru secara normatif pasal yang diuji memberikan dasar hukum untuk menjamin para dosen tetap memperoleh hak keuangannya yang diberikan sesuai peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya telah memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
“Lebih-lebih lagi, ternyata tunjangan fungsional dosen tetap dibayarkan sehingga pemenuhan hak keuangan sebagaimana dimaksud dalam UU a quo tetap terjamin serta diperlakukan sama dan berkeadilan,” ucap Guntur membacakan Putusan Nomor 111/PUU-XX/2022 tersebut.
Secara konkret, Guntur menjelaskan tunjangan profesi yang dihentikan yang dialami oleh para Pemohon, tidak serta-merta dihentikan. Mahkamah berpendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 huruf d Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 466, (Permenpan 17/2013), tunjangan profesi bagi dosen tugas belajar baru dihentikan setelah dosen yang bersangkutan menjalani tugas belajar lebih dari 6 (enam) bulan secara terus-menerus.
“Dengan demikian, terhitung mulai bulan ketujuh tunjangan profesi dihentikan. Tunjangan profesi dihentikan bukan karena tugas belajar semata, tetapi juga karena sebab lain seperti diberhentikan sementara dari PNS, ditugaskan secara penuh di luar jabatan akademik dosen, menjalani cuti di luar tanggungan negara. Lebih lanjut, sebagaimana perintah UU 14/2005, pengaturan mengenai hak dosen khususnya terkait dengan hak keuangan dosen dalam melaksanakan tugas belajar diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan teknis di bawah UU a quo,” jelas Guntur.
Selanjutnya, Guntur menambahkan, bagi dosen yang telah menyelesaikan pendidikan dimaksud, tunjangan profesi dosen yang sebelumnya hanya diberikan selama 6 (enam) bulan akan dibayar setelah diaktifkan kembali ke dalam jabatan akademik dosen. “Dengan demikian, dosen yang telah menyelesaikan tugas belajar dan aktif kembali menjalankan profesi akademisnya, dibayarkan kembali tunjangan profesi dosen (sertifikasi dosen),” paparnya.
Perbedaan Perlakuan
Mahkamah pun menilai terkait perbedaan perlakuan antarperguruan tinggi, baik di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan kementerian/lembaga lain yang memberikan atau memfasilitasi pendidikan lanjutan berupa tugas belajar. Menurut Mahkamah, fasilitas tersebut seharusnya dilakukan secara terkoordinasi dan sinkronisasi kebijakan, sehingga merata dan diperlakukan sama di seluruh kementerian/lembaga terkait, dengan mengedepankan kelancaran dan efektivitas tugas belajar dan kesejahteraan dosen tugas belajar sehingga dosen yang bersangkutan dapat menyelesaikan pendidikan lanjutan tepat waktu dengan hasil yang optimal.
Di samping itu, Mahkamah menekankan perlunya dilakukan monitoring dan evaluasi dengan memanfaatkan platform atau sistem informasi terintegrasi yang dikelola dengan baik dan benar-benar berfungsi sesuai peruntukannya. Sistem informasi tersebut tidak hanya selesai dibuat tetapi juga dijaga, diawasi, dan dijamin mutunya sehingga menjadi instrumen dalam mendorong perlakuan yang sama dalam upaya meningkatkan profesionalisme dosen. Selain itu, untuk mengoptimalkan kemampuan tenaga akademik dalam melaksanakan tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi, dosen tidak seharusnya dibebani tugas administrasi yang berlebihan, sehingga dosen lebih fokus dalam mengembangkan kemampuan akademiknya dengan optimal dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. “Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, Mahkamah menyatakan, dalil para Pemohon merupakan persoalan implementasi norma bukan persoalan konstitusionalitas norma,” papar Guntur.
Untuk itu, Majelis Hakim Konstitusi memutuskan menolak untuk seluruhnya permohonan Pemohon. “Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan Amar Putusan.
Baca juga:
Menyoal Penghentian Sementara Tunjangan Sertifikasi Bagi Dosen Pegawai Berstatus Tubel
PNS Menyoal Tunjangan Sertifikasi Dosen Pertajam Alasan Permohonan
Kemendikbud: Ketiadaan Tunjangan bagi Dosen Tubel Bukan Bentuk Pengebirian Hak
Pemerintah Urung Ajukan Saksi, Sidang Uji UU Guru Dosen Berakhir
Sebelumnya para Pemohon mendalilkan pemaknaan pasal a quo diwujudkan dengan penghentian sementara pembayaran tunjangan profesi dosen terhitung sejak 2009 hingga 2022. Akibatnya, para Pemohon kehilangan hak keuangannya, sedangkan mereka dalam masa menempuh studi lanjutan pada sejumlah perguruan tinggi di Indonesia atau berstatus tugas belajar (tubel). Penafsiran semata ini tidak didasarkan pada kepentingan terbaik para dosen yang diberi tugas belajar, terutama bagi para dosen yang sedang atau akan menempuh studi lanjut dengan biaya sendiri, parsial, ataupun beasiswa demi menunjang kelancaran dan proses penyelesaian studi. Padahal dosen pegawai pelajar pada semua perguruan tinggi negeri ini tetap dibebankan kewajiban untuk melakukan pengisian Beban Kerja Dosen. Sehingga sepanjang dosen pegawai pelajar yang bersangkutan tetap melakukan hal tersebut, maka dapat dikategorikan memenuhi ketentuan perundang-undangan beban kerja dosen dan ia pun seharusnya dapat tetap diberikan tunjangan sertifikasi dosen.
Untuk itu, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon. Para Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 51 ayat (1) UU Guru dan Dosen sepanjang frasa “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, pemaknaannya mencakup pula Dosen yang diberi tugas belajar”. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim
Source: Laman Mahkamah Konstitusi