Advokat Persoalkan Kewenangan Penyidikan oleh Kejaksaan
![](https://mkri.id/public/content/berita/original/berita_1680103125_57c045eff409f7052d86.jpg)
JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materi terhadap tiga undang-undang, yakni Pasal 30 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan/atau Kejaksaan’ Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) pada Rabu (29/3/2023). Permohonan Perkara Nomor 28/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh M. Jasin Jamaluddin yang berprofesi sebagai advokat.
Melalui Imelda, Reza Setiawan, Putra Simatupang selaku kuasa hukum, Pemohon mendalilkan sejumlah pasal yang diujikan tersebut inkonstitusional dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Putra Simatupang dalam persidangan menguraikan, dengan diberikannya kewenangan penyidikan dalam tindak pidana tertentu menyebabkan Kejaksaan menjadi superpower karena Kejaksaan menjadi memiliki kewenangan lebih, selain melakukan penuntutan jaksa bisa juga sekaligus melakukan penyidikan.
Sementara itu, pemberian wewenang jaksa sebagai penyidik dalam Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan telah membuat jaksa dapat sewenang-wenang dalam melakukan proses penyidikan. Karena, jelas Imelda, prapenuntutan atas penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dilakukan sekaligus oleh jaksa juga, sehingga tidak ada kontrol penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dari lembaga lain. Karena tidak ada fungsi kontrol tersebut, jaksa sering mengabaikan permintaan hak-hak tersangka, seperti permintaan untuk dilakukan pemeriksaan saksi/ahli dari tersangka dengan tujuan membuat terang suatu perkara.
“Apabila permintaan tersebut diabaikan oleh jaksa sebagai penyidik dan diajukan oleh Jaksa Prapenuntutan yang jelas-jelas satu instansi dengan penyidik, tentunya hal tersebut akan diabaikan oleh Jaksa Prapenuntutan, karena tidak ada lembaga lain yang mengontrol dan memastikan proses penyidikan berjalan dengan baik serta mencerminkan keadilan bagi pencari keadilan. Terlebih yang dialami oleh Pemohon selaku kuasa dari tersangka yang disidik oleh jaksa, telah menjadi korban dari kesewenang-wenangan jaksa selaku penyidik,” jelas Putra di hadapan Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi Suhartoyo, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.
Dalam kasus konkret, Putra mengatakan pada 21 Februari 2023, jaksa menyatakan berkas perkara belum lengkap dan akan dilakukan pemeriksaan lanjutan terhadap tersangka. Lalu pada 23 Februari 2023, jaksa selaku penyidik belum melakukan pemeriksaan lanjutan kepada tersangka, tetapi justru berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Jaksa Prapenuntutan dan langsung melimpahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum. Selanjutnya, dalam proses penyidikan tersebut, tersangka telah meminta untuk dilakukan pemeriksaan terhadap saksi dan ahli agar perkara menjadi terang. Namun permintaan tersebut diabaikan oleh penyidik dan Jaksa Prapenuntutan.
Untuk itu, Pemohon dalam Petitum permohonan meminta pada Mahkamah agar menyatakan Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) Khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan” dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan atau kejaksaan’ UU KPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Catatan Nasihat Hakim
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dalam nasihat Majelis Sidang Panel menyebutkan terkait legal standing agar diuraikan lebih rinci apabila Pemohon pernah mengalami kasus konkret sebagaimana frasa yang diujikan. Sehingga permohonan yang diajukan dapat meyakinkan hakim atas keberlakuan norma benar-benar telah merugikan Pemohon. Sementara itu, terkait dengan dijadikannya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai batu uji dalam pengujian norma ini, diharapkan Pemohon pun dapat menjelaskan dalam alasan permohonan keterkaitannya dengan ketiga undang-undang yang diujikan tersebut.
“Selain itu, Pemohon belum menguraikan original intent dari undang-undang yang diujikan, setidaknya ada politik hukumnya. Coba diuraikan ketiga norma yang diujikan ini, karena setiap undang-undang punya karakteristiknya. Jadi, elaborasi original intent-nya,” sebut Daniel.
Sementara itu, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah meminta agar Pemohon pada bagian kedudukan hukum selaku advokat perlu melakukan elaborasi hubungan advokat sebagai penegak hukum dengan keberadaan isu-isu yang terkait dengan pengujian beberapa pasal ini.
Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta agar Pemohon mempertajam argumentasi anggapan kerugian konstitusionalnya, baik aktual maupun potensial. Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan Pemohon diberikan waktu hingga selambat-lambatnya pada Selasa, 11 April 2023 pukul 13.00 WIB untuk menyerahkan naskah perbaikan permohonan.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi