Konsep Pelaksanaan Pemilu Demokratis di Indonesia

MAKASSAR, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah membuka secara resmi Kegiatan Gebyar Konstitusi VII Tahun 2023 yang dilaksanakan oleh Lembaga Debat Hukum dan Konstitusi (LeDHaK) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH Unhas) Bekerja Sama dengan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (17/3/2023). Kegiatan bertema “Patuh Pada Nomokrasi, Setia Pada Demokrasi, Bersatu di Bawah Konstitusi” ini dirangkai sekaligus dengan kuliah umum bertajuk “Menuju Pemilihan yang Demokratis: Dari Konstitusi, Oleh Mahkamah Konstitusi, Untuk Kemajuan Negeri” di Baruga Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa, S.H. FH Unhas.

Guntur dalam kuliah umumnya memopulerkan akronim “pemilu” yaitu participation, election mandate, integrity, legality, universal suffrage (pemilu). Ketentuan mengenai pemilihan umum (pemilu) di Indonesia terdapat dalam Pasal 22E UUD 1945 ayat (1) hingga ayat (6), kemudian pelaksanaannya terdapat pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Singkatnya, kata Guntur, pemilu menjadi sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota DPRD yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil) dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

“Tak hanya dalam konstitusi Indonesia, pemilu secara internasional juga diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau DUHAM. Jadi, pemilihan dilakukan dengan penentuan siapa yang akan mewakili kita harus dilakukan dengan pemilihan yang bebas. Itu telah menjadi norma dalam hukum internasional. Hak pilih dengan pemungutan suara harus menjamin kebebasan memberikan suara,” jelas Guntur dalam kegiatan yang didampingi oleh Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono serta dihadiri pula oleh Ratnawati selaku Wakil Dekan Bidang Kemitraan, Riset, dan Inovasi FH Unhas.

Mengilustrasikan pelaksanaan pemilu tersebut dengan penyelesaian masalahnya, Guntur menyebutkan penyelesaiannya terdapat pada lembaga-lembaga terkait yang menanganinya secara berjenjang. Sementara terkait dengan sengketa hasil, muara akhirnya ke MK. Saat ini, sebut Guntur, MK telah bersiap dengan membuat rambu-rambu dalam menangani sengketa hasil pemilu. Yakni Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2023 Tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah; dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden.

“Bagi yang ingin mendalami kepemiluan di MK, regulasi ini dapat diunduh di laman mkri.id. Laman ini menyediakan semua yang dibutuhkan publik tentang MK, mulai dari PMK hingga berbagai aktivitas yang dilakukan MK dalam peran dan kewenangannya,” jelas Guntur dalam agenda yang dipandu moderator Dosen FH Unhas Fajlurrahman Jurdi ini.

Selanjutnya pada akhir paparan, Guntur menyinggung soal eksistensi konstitusi modern. Hal ini diulasnya mengingat keberadaan MK yang mengonsepkan diri sebagai lembaga peradilan modern. Guntur mengatakan konstitusi modern merupakan konstitusi yang lahir dari hasil kesepakatan bersama melalui penjaringan kehendak rakyat yang dilakukan oleh lembaga negara yang berwenang dengan memuat beberapa kaidah, di antaranya tujuan negara, prinsip-prinsip bernegara, organisasi dan struktur utama negara, mengatur syarat dan prosedur perubahan konstitusi, serta menjunjung tinggi supremasi konstitusi.

 

Menjaga Tegaknya Nilai Konstitusi

Pada sesi tanya jawab, Sartika dari Program Studi Hubungan Internasional Fisip Unhas menanyakan soal referensi dari MK atas keberadaan pemimpin yang akan dipilih dalam pemilu yang berpengaruh pada kebijakan luar negeri Indonesia. Menanggapi hal ini, Guntur secara jelas menyebutkan MK tidak memiliki referensi atas bagaimana pemimpin yang baik dapat dipilih oleh masyarakat. Sebab MK hanyalah bertugas menjaga tegaknya konstitusi dengan tidak mencampuri pilihan warga negara dalam menentukan pemimpin bangsanya. MK dalam pelaksanaan pemilu tidak untuk mendikte warga negara dalam memilih pemimpinnya. Karena pada prinsipnya, jelas Guntur, pilihan tersebut adalah hak setiap warga negara yang harus dijaga keberlangsungannya sesuai dengan koridor konstitusi.

Pertanyaan berikutnya datang dari Muhammad Yusuf, seorang mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Unhas yang mempertanyakan isu penundaan pemilu. Lagi-lagi atas keberadaan MK pada masalah ini, Guntur menegaskan bahwa MK dalam posisinya adalah menjaga tegaknya konstitusi. Sementara adanya isu-isu terkait penundaan atau sejenisnya, bukanlah ranah kewenangan MK. Sebagai lembaga peradilan, MK bersifat pasif dan hanya dapat menyimak wacana yang berkembang di masyarakat.

“MK tidak buta politik, tetapi ketika wacana demikian masuk ke MK dalam bentuk pengujian undang-undang, penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara, penyelesaian PHPU, pembubaran parpol, atau pemakzulan sekalipun, maka di sinilah MK ada sebagaimana diatur dalam konstitusi. Setia pada Pancasila, taat pada konstitusi, karena norma konstitusi sudah mengatur siklus lima tahunannya. Jika ada persoalan di publik seperti itu, tetapi tidak masuk ke MK, maka MK tidak bisa mencampurinya termasuk untuk menanggapi atau membicarakannya karena hal itu bukan kewenangan MK,” jawab Guntur dengan tegas.

 


Penulis: Sri Pujianti.

Editor: Nur R.

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi