Alami Kasus Tuduhan Pencemaran Nama Baik, Seorang Karyawan Swasta Uji UU ITE

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar Sidang Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pada Kamis (16/3/2023) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan yang diregistrasi MK dengan Nomor 25/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh seorang karyawan swasta bernama Tedy Romansa.

Pemohon mempersoalkan norma Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik”. Pasal 45 ayat (3) menyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.

Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Pemohon yang diwakili oleh kuasanya, Irfandi menyebut awal mulanya Pemohon mengklarifikasi ibu kandungnya mengenai isu yang berkembang di masyarakat terkait hubungan ibu kandung Pemohon dengan Dadang Kurniadi pada 31 Juli 2022. Ibu Karsah yaitu ibu Pemohon mengakui telah memberikan uang sebesar Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) secara tunai kepada Dadang Kurniadi pada 23 Juni 2022, uang tersebut untuk pembelian sebidang rumah dan tanah seluas 40 Bata di daerah Ciomas berdasarkan bukti kuitansi tertanggal 18 Juli 2022.

“Selanjutnya singkat cerita,tanah dan rumah yang dijanjikan akan dibeli oleh Bapak Dadang Kurniadi menggunakan uang ibu Karsah tidak terpenuhi dan bahkan Bapak Dadang Kurniadi mengaku kepada ibu Karsah bahwa uangnya sebesar Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) untuk membeli rumah tersebut telah hilang jatuh dari bagasi mobil dan hingga saat ini uang tersebut belum dikembalikan kepada Ibu Karsah dan laporan polisi atas kehilangan uang tersebut pun tidak pernah dilakukan oleh Bapak Dadang Kurniadi dengan alasan yang tidak jelas dan tidak masuk akal,” urai Irfandi.

Selanjutnya, pada 18 Februari 2023,  sambung Irfandi, Pemohon dipanggil untuk dimintai keterangan oleh Polres Kuningan di unit Harda Sat Reskrim Polres Kuningan berdasarkan Surat Nomor B/103/II/2023/Reskrim tertanggal 16 Februari 2023. Pada tanggal tersebut, Pemohon dengan didampingi kuasa hukumnya memenuhi undangan permintaan keterangan tersebut, kuasa hukum telah berdiskusi kepada penyelidik terkait adanya Keputusan Bersama Menteri komunikasi, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Nomor 229 tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021 dan Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu dalam UU 19/2016.

Namun aturan tersebut diabaikan dan pengaduan pencemaran nama baik dan penghinaan terus ditindaklanjuti. Padahal jelas Pemohon hanya menerima kiriman rekaman tersebut dan lalu mengirimkan kembali kepada saudaranya secara pribadi bukan disebarkan di grup terbuka sebagaimana aturan Keputusan Bersama Menteri Komunikasi, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021 dan Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu dalam UU 19/2016 huruf K bagian implementasi yang menyatakan bahwa “Bukan merupakan delik penghinaan dan atau pencemaran nama baik dalam hal konten disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas seperti grup percakapan keluarga, kelompok pertemanan akrab, kelompok profesi, grup kantor atau intitusi pendidikan“. “Mengapa aturan demikian diabaikan oleh penegak hukum karena penegak hukum hanya melihat pasal a quo ini yang diuji oleh pemohon masih berlaku dan belum dinyatakan tidak mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi,” urainya.

Dikatakan Irfandi, UU ITE terdapat banyak pasal karet dan setiap pasal tersebut harus segera direvisi agar tidak berpotensi dapat merusak nilai keadilan dan kebenaran yang tertuang dalam UUD 1945. Pemohon tidak mendapatkan jaminan dan kepastian hukum akibat berlakunya Pasal 27 ayat (3) dan 45 ayat (3) UU ITE. Selain itu,  Pemohon menilai pencemaran nama baik harus memiliki batasan-batasan hukum yang menunjang dan dipergunakan oleh aparat penegak hukum untuk memroses segala tindak pidana yang berhubungan dengan pasal a quo ini, sehingga pasal tersebut secara yuridis telah melanggar tujuan awal pembentukan UU ITE. Oleh karena itu, ia menegaskan, Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

“Di mana akibat berlakunya pasal tersebut, Pemohon saat ini dipanggil oleh Polres Kuningan untuk dimintai keterangan terkait dugaan pelanggaran terhadap pasal dimaksud yang memiliki unsur dan multitafsir yang seharusnya diperjelas dalam undang-undang atau ketentuan hukum lainnya seperti peraturan pelaksana undang-undang,” papar Irfandi.

Dampak dari berlakunya pasal tersebut bukan hanya bagi Pemohon, namun juga pada masyarakat pada umumnya, terlebih lagi UU ITE saat ini menjadi sorotan utama bagi Presiden RI dan Jajaran Pemerintahan lainnya termasuk Kapolri. Karena UU ITE memiliki pasal karet yang dapat merugikan orang banyak khususnya Warga Negara Indonesia. Ada pula petunjuk dari Presiden RI terhadap UU ITE, sehingga Kapolri mengeluarkan surat Edaran Nomor SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk mewujudkan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat dan produktif. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar pasal-pasal yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Nasihat Hakim

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Manahan M.P.  Sitompul mengatakan Pemohon telah menguraikan kedudukan hukum sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). 

“Seharusnya Saudara bisa menjelaskan dulu atau menguraikan a, b, c, d, e itu terutama tentang spesifik atau khusus hak konstitusionalnya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, kemudian ada dugaan bahwa melanggar hak konstitusional dari pada pemohon. Nah baru ketiga dijelaskan apakah kerugian ini spesifik atau tidak, khusus? Dan apakah aktual atau setidak-tidaknya potensial. Saya sudah membaca diselanjutnya itu kalau ini dimulai dari perkara konkret, coba itu uraikan dan hubungkan dengan ini. Dimana kira-kira legal standing-nya itu. Dan juga harus dijelaskan apakah Pemohon ini benar-benar mengalami kerugian karena apa? Karena dituduh karena pasal inikah atau hanya sekadar saksi yang dipanggil, ini tidak jelas. Jadi, harus ada kejelasan,” tegas Manahan.

Sedangkan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah meminta Pemohon untuk menambahkan Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 (PMK 2/2021) pada kewenangan MK dan mengelaborasi kedudukan hukumnya. “Sebetulnya saya menangkap lebih banyak argumentasi kaitannya dengan legal standing saudara, hal-hal konkret yang Saudara kemukakan di alasan permohonan itu lebih tepat diatur dipindahkan ke legal standing atau kedudukan hukum. Memang ada juga berbicara, tetapi hanya mencantumkan Pasal 28I, Pasal 28G, dan Pasal 28J (UUD 1945) tanpa mengelaborasi sebagaimana disampaikan tadi oleh Hakim Konstitusi Manahan MP. Sitompul. Jadi mestinya dielaborasi itu, itulah alasan-alasan permohonan dielaborasi. Sementara keadaan konkret saudara hendaknya masuk sebagai argumentasi untuk legal standing-nya,” terang Guntur.

Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta Pemohon untuk memperjelas uraian kedudukan hukum. Kemudian, memperkuat dan membuat argumentasi yang dapat menyakini MK. “Untuk petitum, Arief meminta Pemohon untuk memikirkan kembali apabila ini dinyatakan inkonstitusional kalau terjadi kekosongan hukum bagaimana? Kalau gitu bisa saja konstitusional bersyarat atau inkonstitusional bersyarat terserah,” terang Arief.

Sebelum menutup persidangan, Panel Hakim memberikan waktu selama 14 hari kerja. Arief mengatakan Pemohon diberi waktu untuk menyerahkan perbaikan permohonan paling lambat Rabu, 29 Maret 2023 pukul 13.00 WIB. (*)

Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayudhita

Source: Laman Mahkamah Konstitusi