Dua Mahasiswa Persoalkan Kewajiban Jaga Orang Gila

JAKARTA, HUMAS MKRI - Dua mahasiswa, Risky Kurniawan dan Michael Munte mengajukan permohonan pengujian Pasal 491 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Risky Kurniawan adalah Mahasiswa Universitas Internasional Batam. Sedangkan Michael Munte adalah Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Permohonan mereka diregistrasi dengan Nomor 24/PUU-XXI/2023. Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara ini dilaksanakan oleh Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, Bersama Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, pada Selasa (14/3/2023).

Pasal 491 ayat (1) KUHP berbunyi, “Diancam dengan pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah: 1. barang siapa diwajibkan menjaga orang gila yang berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang lain, membiarkan orang itu berkeliaran tanpa dijaga.”

Risky Kurniawan menyebutkan Pasal 491 ayat (1) KUHP tersebut tidak menentukan pihak yang mempunyai kewajiban menjaga seorang gila. Sehingga untuk memenuhi unsur adanya orang “yang diwajibkan menjaga seorang gila” sebenarnya sulit dilakukan. Sebab berdasarkan Staatsblad 1897 Nomor 54 disebutkan kepada orang perseorangan tidak dibebankan kewajiban untuk menjaga dan merawat. Jika pun ada kewajiban demikian, sambung Risky, hanya berupa kewajiban moral yang tidak dapat dituntut sebagai kewajiban hukum.

 

Kewajiban Pemerintah

Justru kewajiban tersebut ada pada kewajiban pemerintah karena keluarga dekat orang gila tersebut menurut aturan yang ada memiliki kewenangan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat agar orang gila tersebut dapat ditempatkan di rumah sakit jiwa. Sehingga menurut para Pemohon UU a quo tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan mengakibatkan masalah berkelanjutan kepada suatu subjek hukum sehingga pasal a quo digunakan sebagai alat pemidanaan.

“Kerugian yang dimaksudkan di sini kerugian potensial, di mana saat kami sedang di jalan raya mungkin saja ada orang gila yang merusak sarana umum sehingga dari pasal ini bersifat multitafsir karena yang menjaga orang-orang tersebut seharusnya keluarga terdekat,” sebut Risky yang hadir dalam persidangan secara daring dari Batam.

 

Hukum Beracara MK

Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dalam nasihatnya memberikan beberapa catatan, di antaranya tentang perlunya bagi para Pemohon membaca dan mempelajari Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Pengujian Undang-Undang di MK. Hal yang perlu dicermati berkaitan dengan sistematika permohonan. Mengenai hal ini para Pemohon dapat mengunduhnya pada laman mkri.id. Guntur sekilas menjelaskan, permohonan yang lazim di MK memuat beberapa aspek yang harus dipenuhi, seperti identitas Pemohon dan kedudukan hukum Pemohon.

“Dengan melihat permohonan yang pernah ada di MK, Pemohon dapat melihat bagaimana merinci legal standing supaya tidak ada celah dari permohonan yang akan berakhir tidak tepat nantinya. Maka jelaskan kerugian langsung, aktual, dan potensial dari keberlakuan norma ini. Jelaskan secara lengkap di permohonan ini,” tutur Guntur.

Berikutnya Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan catatan tentang kewenangan MK yang tertuang dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MK, atas pelaksanaan pengujian norma yang diujikan pada permohonan ini. Sementara itu Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul menasihati para Pemohon agar mencantumkan pasal yang diujikan secara tegas dan jelas. Manahan juga meminta agar para Pemohon mempelajari pedoman hukum acara di MK yang terbaru untuk pedoman menyempurnakan permohonan, mulai dari sistematika hingga petitum yang diajukan pada perkara ini.

Selanjutnya para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari hingga Senin, 27 Maret 2023 pukul 13.00 WIB  untuk memperbaiki permohonan. Untuk kemudian perbaikan tersebut dapat diserahkan ke Kepaniteraan MK guna diagendakan sidang berikutnya.

 

Penulis: Sri Pujianti.

Editor: Nur R.

Humas: Andhini SF.

 

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi