Pokok Permohonan dan Petitum Kabur, Uji UU MA Tidak Dapat Diterima
JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA). Permohonan diajukan oleh Ihda Misla, seorang pensiunan Pegawai Negeri Sipil. Pemohon mengujikan soal upaya hukum peninjauan kembali (PK).
Sidang pengucapan Putusan Nomor 3/PUU-XXI/2023 ini digelar pada Selasa (28/2/2023), dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi. “Dalam Provisi Menolak Permohonan Provisi Pemohon. Dalam pokok permohonan, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” kata Anwar Usman.
Baca juga:
Menyoal Konstitusionalitas Peninjauan Kembali
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Mahkamah menyatakan, Pemohon menguraikan banyak hal, sementara itu uraian mengenai alasan-alasan permohonan justru didalilkan oleh Pemohon dengan sangat singkat dan tidak terdapat pula uraian mengenai pertentangan antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945. Pemohon hanya menyatakan upaya hukum peninjauan kembali (PK) yang telah ditempuh dan adanya ketentuan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana (SEMA 7/2014) yang membatasi Pemohon untuk mengajukan upaya hukum PK untuk yang kedua kalinya. Uraian alasan-alasan permohonan yang demikian justru menjadikan permohonan sumir dan tidak jelas, apakah yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah norma undang-undang atau SEMA 7/2014. Terlebih, dalam permohonan Pemohon menghendaki pengujian yang bersifat kumulatif-alternatif yang dirumuskan dengan frasa “dan/atau”, mulai dari perihal sampai dengan petitum permohonan, yang seolah-olah mendorong Mahkamah untuk menentukan pilihan atau menggabungkan antara kedua norma UU yang diuji konstitusionalitasnya. Hal demikian, menunjukkan ambiguitas permohonan.
Berkenaan dengan petitum Pemohon, Mahkamah pada persidangan tanggal 16 Januari 2023, dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan telah menasihati Pemohon agar mengubah petitum sesuai dengan format petitum yang berlaku di MK. Namun, pada persidangan tanggal 30 Januari 2023, dengan agenda sidang perbaikan permohonan, Pemohon di dalam perbaikan permohonannya tidak memperbaiki petitumnya.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas maka Mahkamah berpendapat, oleh karena pokok permohonan dan petitum tidak jelas, sehingga menjadikan permohonan a quo tidak jelas (kabur),” jelas Guntur.
Baca juga:
Pensiunan PNS Perbaiki Alasan Permohonan
Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan, Pemohon mendalilkan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU MA bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak sesuai dengan prinsip negara hukum. Prinsip negara hukum yang menjamin hak konstitusional warga negara untuk memperjuangkan keadilan dan bertolak belakang dengan hukum responsif dan progresif. Sehingga untuk mencari keadilan tidak boleh ada pembatasan. Selain itu, menurut Pemohon, dalam hukum pidana, letak keadilan lebih tinggi daripada kepastian hukum. Sehingga, apabila harus memilih maka keadilan menyimpangkan kepastian hukum. Dengan demikian, peninjauan kembali dapat diajukan lebih dari sekali adalah dalam rangka mencari dan memperoleh keadilan walaupun menyampingkan kepastian hukum. Di sisi lain, peninjauan kembali jelas-jelas tidak ada relevansinya dengan kepastian hukum.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi