Para Pemohon Uji Ketentuan Kedudukan MPR Perjelas Kedudukan Hukum

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang kedua atas permohonan yang diajukan oleh Trijono Hardjono, Muhammad Afif Syairozi, Salyo Kinasih Bumi, Hendrikus Rara Lunggi, Muhammad Fajar Ar Rozo, Abdul Ghofur, Frederikus Patu yang tergabung dalam Langkah Juang Pemulihan Kedaulatan Rakyat terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Sidang Perkara Nomor 8/PUU-XXI/2023 dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan ini dilaksanakan pada Senin (6/2/2023) di Ruang Sidang Panel MK.

Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dengan didampingi Hakim Kostitusi Manahan M.P. Sitompul dan Saldi Isra tersebut, Trijono Hardjono selaku perwakilan prinsipal menjabarkan beberapa perbaikan yang telah dilakukan pihaknya. Perbaikan tersebut, yakni memperjelas kedudukan hukum para Pemohon yang tergabung dalam Langkah Juang Pemulihan Kedaulatan Rakyat. Berikutnya, para Pemohon juga menjelaskan terkait urgensi perlunya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagaimana menjadi wacana saat ini.

“Maka pokok permohonan ini kedudukan Tap MPR di sini menjadi tidak memiliki kekuatan hukum, sementara pada pasal dan ayat menetapkan Tap MPR disebutkan sebagai bagian hierarki dari norma hukum. Dengan demikian, adanya ketidakpastian hukum atas keberadaan Tap MPR dalam  hierarki peraturan perundang-undangan ini berkaitan dengan kebedasaan Pasal 3 UUD 1945,” jelas Trijono atas dalil para Pemohon terhadap konstitusionalitas Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Penjelasan; Pasal 18 huruf b dan Penjelasan KUHP.

Baca juga: Sejumlah Aktivis Persoalkan Kedudukan MPR dalam Hukum Tata Negara Indonesia

Sebelumnya, para Pemohon mengatakan perjuangan mereka bertujuan ingin memulihkan kedaulatan rakyat di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan kata lain,  berkaitan dengan kedudukan MPR tersebut sejauh ini usai amendemen UUD 1945 hanya dijadikan sebagai sebuah Forum Komunikasi antara DPR dan DPD. Selain itu, para Pemohon juga menilai adanya pembatasan pemberlakuan Ketetapan MPR dalam ruang lingkup Penyusunan Program Legislasi Nasional sebagaimana Penjelasan Pasal 18 huruf b UU P3 ini berakibat pada ketidakpastian hukum. Sebab tindakan manipulatif pembentuk undang-undang terhadap pembatasan atas keberlakuan Ketetapan MPR ini, seolah-olah MPR tidak lagi memiliki kewenangan konstitusional dalam memutus sebuah produk hukum.

Para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan sah untuk berlaku sementara Naskah Undang-Undang Dasar yang disusun oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, sebagai Hukum Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia; menyatakan sah berlaku sementara Pemerintahan Negara, DPR, dan DPD; serta Pemerintahan Daerah dan DPRD hasil Pemilu 2019.(*)

Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F

Source: Laman Mahkamah Konstitusi