Kemendikbud: Ketiadaan Tunjangan bagi Dosen Tubel Bukan Bentuk Pengebirian Hak
JAKARTA, HUMAS MKRI – Dosen PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang diberikan Tugas Belajar (tubel) akan diberhentikan dari jabatan fungsionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 94 ayat (1) huruf d PP Manajemen PNS. Karena telah diberhentikan dari jabatan fungsionalnya, maka konsekuensinya PNS yang bersangkutan tidak lagi menjalankan kewajibannya sebagai dosen dan karenanya tidak pula mendapatkan haknya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen).
Hal ini disampaikan oleh Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Chatarina Muliana Girsang yang mewakili Pemerintah dalam sidang uji materiil UU Guru dan Dosen yang digelar pada Senin (6/2/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang ketiga Perkara Nomor 111/PUU-XX/2022 ini beragendakan mendengarkan keterangan DPR dan Presiden/Pemerintah dengan dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
“Akibat hukum yang demikian, bukan merupakan bentuk pengurangan atau pengebirian hak-hak dari PNS Dosen yang menjalankan Tugas Belajar, tetapi merupakan akibat hukum di bidang kepegawaian negara yang berlaku bagi PNS-PNS lainnya yang diberhentikan dari jabatannya. Akibat hukum ini penting untuk dimengerti dan dipahami oleh para PNS Dosen yang akan merencanakan Tugas Belajar. Seyogianya Para Pemohon mengetahui bahwa dengan menjalankan Tugas Belajar, Para Pemohon telah berhenti dari jabatannya sebagai dosen,” jelas Chatarina yang hadir langsung di Ruang Sidang Pleno.
Lebih lanjut, Chatarina mengungkapkan tugas keprofesionalan yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU Guru dan Dosen hanya bisa diberikan kepada dosen yang sedang menjalankan jabatan secara aktif. Akibatnya “tugas keprofesionalan” dosen harus dimaknai sebagai tugas yang dijalankan oleh dosen yang aktif menjabat dan menjalankan tugas dalam program studi yang bersangkutan. Seorang dosen haruslah berorientasi pada mahasiswa, rekan sejawat, dan masyarakat luas sebagaimana Tridharma Perguruan Tinggi.
Chatarina menambahkan tubel bagi seorang dosen merupakan salah satu aktivitas pengembangan kompetensi dalam bentuk pendidikan formal yang diberikan kepada seorang PNS Dosen. Sehingga di dalamnya termuat pula akibat hukum yang juga berlaku bagi PNS Dosen, yakni dibebastugaskan/diberhentikan dari jabatan fungsionalnya. Dengan arti kata, ketika PNS Dosen sedang melaksanakan tugas belajar, maka ia tidak sedang menyandang jabatan fungsionalnya. Untuk dapat kembali menjabat sebagai dosen, sambung Chatarina, maka PNS yang bersangkutan harus kembali diangkat sebagai dosen oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 94 ayat (2) PP Manajemen PNS. Namun dalam hal ini terdapat juga pengecualian jika seorang PNS Dosen yang sedang menjalankan tubel tersebut tetap menjalankan tugas-tugasnya.
“Perlu digarisbawahi, kendati seorang PNS Dosen tersebut tidak memperoleh tunjangan-tunjangan, namun dalam masa menjalankan tugas belajar ia memperoleh pendapatan lain dan berhak memperoleh fasilitas lain untuk mendukung pelaksanaan tubel berupa biaya tugas belajar dan biaya-biaya lainnya,” jelas Chatarina.
Baca juga: Menyoal Penghentian Sementara Tunjangan Sertifikasi Bagi Dosen Pegawai Berstatus Tubel
Diatur Peraturan Menteri
Dalam sidang tersebut, hadir pula Anggota Komisi III DPR Arsul Sani yang menerangkan beberapa ketentuan teknis yang menjabarkan tentang mekanisme pemberian tunjangan terhadap dosen, di antaranya Permendikbudrisktek Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pedoman Tugas Belajar bagi PNS Kemendikbudristek, Permendikbudristek Nomor 20 tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor, dan Surat Edaran Menteri PANRB Nomor 28 tahun 2021 tentang Pengembangan Kompetensi bagi PNS melalui Jalur Pendidikan.
Lebih lanjut terhadap permohonan Gunawan A. Tuada dan Abdul Kadir B. ini, DPR berpendapat PNS Dosen yang dalam masa tugas belajar (tubel) sejatinya diberikan kebebasan dari pelaksanaan tugas jabatan. Sehingga dalil para Pemohon hanyalah asumsi saja. Sebab dasar penghentian tunjangan sementera tersebut merupakan hal teknis, akibatnya dalil demikian tidak layak diujikan di MK.
Baca juga: PNS Menyoal Tunjangan Sertifikasi Dosen Pertajam Alasan Permohonan
Hak-Hak Selama Tubel
Atas keterangan Pemerintah tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta agar Pemerintah memberikan penjelasan lebih lengkap terkait pengategorian batasan-batasan hal yang tidak dapat dan tetap dapat diperoleh seorang PNS Dosen yang dalam masa tubel.
“Orang menjalankan tubel itu banyak pembatasan, seperti tidak bisa naik pangkat, tidak menerima tunjangan sertifikasi, tidak dinilai karya akademiknya, ini harusnya jadi pemikiran bagi Kemendikbud. Berikan gambaran kepada Mahkamah, orang yang tubel ini tetap diberikan hak-haknnya berapa kisaran yang diberikan itu? Bagaimana tubel itu sendiri dilaksanakannya di lingkungan kampus tempatnya mengajar? Bagaimana pelaksanaan hak-hak tubelnya itu?” tanya Saldi.
Sementara itu Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengatakan saat seseorang melakukan tubel maka ada beberapa komponen pendapatan yang hilang. Padahal pada kenyataannya, Guntur menilai para dosen tetap pula menjalankan tugas pengajaran dengan memberikan perkuliahan, dan bahkan ada dokumen penugasan yang diberikan kampus.
“Apalagi sekarang ada aplikasi di mana perkuliahan dapat dilakukan dengan daring, maka dari itu bisakah Pemerintah diharapkan bisa membuatkan matriks tentang tunjangan apa saja yang diberikan pada seorang dosen, misalnya tunjangan profesi, sertifikasi, dan tunjangan tersebut ditujukan untuk apa saja. Dan mana dari tunjangan-tunjangan itu yang tidak bisa diberikan kepada PNS Dosen yang tubel dan apa pertimbangannya?” kata Guntur.
Berikutnya pertanyaan pun muncul dari Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang meminta agar Pemerintah menjelaskan standardisasi yang digunakan oleh kementerian lain untuk pemberian berbagai tunjangan bagi PNS Dosen yang menjalankan tubel. “Apa ukuran yang digunakan dalam hal misalnya jaminan kesehatan dan kesejahteraan guru dan dosen, parameternya apa dalam mengimplentasikan Pasal 51 ayat (1) UU Guru dan Dosen ini,” jelas Enny.
Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Anwar Usman menyebutkan sidang berikutnya akan dilaksanakan pada Senin (20/2/2023). Agenda persidangan berupa mendengarkan keterangan dari 3 orang Ahli dan 2 orang Saksi dari Pemerintah. Untuk itu, Anwar mengingatkan para pihak agar CV dan izin tertulis dari pimpinan bagi Ahli yang berprofesi sebagai PNS harus diajukan setidaknya dua hari sebelum masa persidangan mendatang.
Untuk diketahui, pada permohonan ini para Pemohon mendalilkan pemaknaan pasal a quo diwujudkan dengan penghentian sementara pembayaran tunjangan profesi dosen terhitung sejak 2009 hingga 2022. Akibatnya, para Pemohon kehilangan hak keuangannya, sedangkan mereka dalam masa menempuh studi lanjutan pada sejumlah perguruan tinggi di Indonesia atau berstatus tugas belajar (tubel). Penafsiran semata ini tidak didasarkan pada kepentingan terbaik para dosen yang diberi tugas belajar, terutama bagi para dosen yang sedang atau akan menempuh studi lanjut dengan biaya sendiri, parsial, ataupun beasiswa demi menunjang kelancaran dan proses penyelesaian studi. Padahal dosen pegawai pelajar pada semua perguruan tinggi negeri ini tetap dibebankan kewajiban untuk melakukan pengisian Beban Kerja Dosen. Sehingga sepanjang dosen pegawai pelajar yang bersangkutan tetap melakukan hal tersebut, maka dapat dikategorikan memenuhi ketentuan perundang-undangan beban kerja dosen dan ia pun seharusnya dapat tetap diberikan tunjangan sertifikasi dosen.
Untuk itu, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon. Para Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 51 ayat (1) UU Guru dan Dosen sepanjang frasa “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, pemaknaannya mencakup pula Dosen yang diberi tugas belajar”.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim
Source: Laman Mahkamah Konstitusi