Multitafsir Penghitungan Daluarsa Tindak Pidana Pemalsuan Surat
![](https://mkri.id/public/content/berita/original/berita_1670975883_9a552665907f3478a7b5.jpg)
JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pertama pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) pada Selasa (13/12/2022) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan perkara Nomor 118/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Juliana Helemaya (Pemohon I) yang berprofesi sebagai pekerja swasta dan Asril (Pemohon II) yang berprofesi sebagai petani. Sidang Panel yang memeriksa perkara ini terdiri atas Hakim Konstitusi Suhartoyo, Saldi Isra, dan M. Guntur Hamzah.
Para Pemohon mengujikan Pasal 79 angka 1 KUH Pidana yang berbunyi “Tenggang daluarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal berikut: 1. Mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan.”
Melalui kuasa hukum Faigi’asa Bawamenewi dan Ridhuan Syahputra Notatema Zai, para Pemohon mengungkapkan permasalahan yang dihadapi. Dalam kasus konkret, penyidik Polda Riau dan Polresta Pekanbaru dalam menerapkan ketentuan daluarsa pemalsuan surat menggunakan Pasal 79 KUH Pidana saja. Para aparat hukum tersebut menghitung daluarsa surat palsu adalah sejak surat yang diduga keras palsu itu digunakan, sedangkan dalam beberapa putusan pengadilan dan pendapat para ahli hukum berbeda satu sama lain. Misalnya saja, sambung Faigi, Putusan MA Nomor 2224 K/Pid/2009, Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 261/Pid/2014/PT.Bdg, Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Praperadilan nomor 05/Pid.Pra/2018/PN.Pbr.
Menurut para Pemohon, berdasarkan pasal yang diujikan ini penerapan penghitungan daluarsa tindak pidana pemalsuan surat dan/atau surat otentik oleh para penegak hukum, baik Polri, jaksa, hakim, dan pengacara ditafsirkan saling berbeda satu dengan lainnya sesuai pendapat masing-masing. Sehingga perlindungan terhadap hak-hak korban dan/atau pelapor dan/atau pihak yang dirugikan tidak mendapatkan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Catatan Hakim
Atas permohonan para Pemohon ini, Hakim Konstitusi Saldi Isra memberikan catatan mengenai sistematika permohonan yang diawali dengan kejelasan identitas para Pemohon. Hal ini dapat dibaca dan dipelajari dari permohonan yang diunggah di laman MK. Berikutnya Saldi mencatat perlunya bagi para Pemohon untuk menyebutkan UU MK dan Peraturan MK yang digunakan sebagai landasan dari kewenangan MK atas pengujian norma yang dimohonkan pada perkara ini. Sementara untuk kedudukan hukum dapat diuraikan lebih rinci lagi tentang siapa Pemohon, apa kerugian yang dialami, dan hak konstitusional yang dijamin konstitusi yang telah dirugikan oleh keberlakuan norma ini.
“Pada permohonan ini hanya disebutkan kasus konkretnya saja, sementara keberlakuan UU yang diujikan tidak dikaitkan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut. Lalu kerugian hak konstitusional mana yang potensial dialami oleh para Pemohon,” jelas Saldi.
Selanjutnya Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dalam catatan nasihatnya menyebutkan perlu bagi para Pemohon melakukan elaborasi norma yang dimintakan dari “daluarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan” ke “setelah perbuatan diketahui”. Sebab hal ini perlu disampaikan tafsir yang diminta dengan mengilustrasikan dari wujud ketidakpastian hukum yang dimaksud sehingga perlu diperkuat dengan berbagai argumentasi pendukung.
“Selanjutnya putusan-putusan yang dikutip pada permohonan ini, perlu ditelusuri lagi dan diperjelas, apakah putusan dari MA benar putusan sesuai dengan putusannya atau alasan yang diajukan jaksa dalam persidangan itu, demikian juga dengan putusan-putusan lainnnya,” nasihat Guntur.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo memberikan catatan mengenai beberapa hal lainnya seperti kewenangan MK dalam mengujikan perkara a quo yang termuat dalam UU MK, UU Kehakiman, UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berikutnya para Pemohon juga diharapkan dapat melihat permohonan yang pernah dikabulkan MK.
“Kasus konkret boleh diuraikan, tetapi dikaitkan pula dengan dasar pengujiannya secara jelas. Karena dasar pengujian akan dielaborasi MK, bagaimana sebenarnya keterkaitan kerugian yang dialami dengan berlakunya norma itu,” jelas Suhartoyo.
Panel hakim memberikan kesempatan waktu kepada para Pemohon untuk melakukan perbaikan permohonan selambat-lambatnya hingga Senin, 26 Desember 2022. Selanjutnya naskah perbaikan dapat diserahkan ke Kepaniteraan MK untuk kemudian diagendakan sidang berikutnya.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi